Sabtu, 27 Maret 2010

Laporan Produktifitas Perairan

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Tingkat produktivitas primer merupakan deskripsi kualitatif yang menyatakan konsentrasi unsur hara yang terdapat di dalam suatu badan air atau merupakan laju pembentukan senyawa-senyawa organic yang kaya energi dari senyawa-senyawa anorganik. Tingkat produktivitas primer perairan berasal dari ketersediaan unsur hara N dan P. Dimana kedua unsur ini merupakan unsur hara yang esensial yang dibutuhkan dalam pertumbuhan organisme. Dan apabila kekurangan unsur ini maka akan menyebabkan rendahnya produktivitas primer suatu perairan, khususnya pada laut.
Laut merupakan perairan terbuka dan mengalir (lotik) yang mendapat masukan dari semua buangan berbagai kegiatan manusia di daerah pemukiman, pertanian dan industri di daerah sekitarnya. Masukan buangan ke dalam laut akan mengakibatkan terjadinya perubahan faktor fisika, kimia dan biologi di dalam perairan. Perubahan ini dapat menghabiskan bahan-bahan yang esensial dalam perairan sehingga dapat mengganggu lingkungan perairan.
Berkembangnya kegiatan penduduk di Daerah Aliran Laut (DAS), seperti bertambahnya pemukiman penduduk, kegiatan industri rumah tanggadan kegiatan pertanian, dapat berpengaruh mempengaruhi kualitas air karena limbah yang dihasilkan dari kegiatan penduduk tersebut dibuang langsung ke laut. Adanya masukan bahan-bahan terlarut yang dihasilkan oleh kegiatan penduduk di sekitar DAS sampai pada batas-batas tertentu tidak akan menurunkan kualitas air laut. Namun apabila beban masukan bahan-bahan terlarut tersebut melebihi kemampuan laut untuk membersihkan diri (self purification), maka timbul permasalahan yang serius yaitu pencemaran perairan, sehingga berpengarus negatif terhadap kehidupan biota perairan dan kesehatan penduduk yang memanfaatkan air laut tersebut.

1.2. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui besarnya produksi primer yang terjadi di perairan melalui metode oksigen (botol gelap-terang).
2. Untuk mengetahui kandungan nitrat (metode reduksi kadmium) dan Orthopospat (metode asam asorbik) yang terdapat dalam perairan.
Kegunaan dari praktikum ini adalah sebagai bahan informasi bagi mahasiswa untuk mengetahui besarnya produktivitas primer perairan khususnya pada perairan mengalir seperti laut.






II. TINJAUAN PUSTAKA

Faktor Fisika
a. Suhu
Suhu secara langsung mempengaruhi proses kehidupan organisme, seperti terganggunya pertumbuhan dan reproduksi sedangkan secara tidak langsung mempengaruhi daya larut oksigen (Huet, 1971 dalam Alfan, 1995). Sastrawidjaya (1991) menambahkan bahwa suhu mempunyai pengaruh yang besar terhadap kelarutan oksigen. Populasi thermal pada organisme air terjadi pada suhu tinggi yang menyebabkan suhu bahan organisme naik dan menaikkan kebutuhan oksigen yang biasanya meningkat akibat keracunan bahan pencemar kimia ke dalam air.
Whitten (1995) mengemukakan bahwa pada aliran laut, tidak terdapat pengaruh langsung dari suhu sebab pada aliran laut yang mengalir dan bergerak terus-menerus cenderung terjadi pencampuran massa air, stratifikasi tidak ada, sehingga suhu relatif sama pada permukaan dan dasar.

b. Kecerahan
Kecerahan menurut Raharja (1997) adalah ukuran transparansi perairan yang dapat diamati secara visual dengan menggunakan alat bantu yang disebut secchi disc maka perairan yang kecerahannya baik akan memberi pengaruh yang baik pula terhadap daya tembus sinar matahari di perairan tersebut yang berguna bagi proses fotosintesis.
Kedalaman suatu perairan merupakan salah faktor yang membatasi kecerahan suatu perairan. Kecerahan juga sangat ditentukan oleh intensitas cahaya matahari dan partikel-partikel organik dan anorganik yang melayang-layang di kolom air (Sidabutar dan Edward, 1995).
Penetrasi cahaya sering laut dihalangi oleh zat yang terlarut dalam air, membatasi zona fotosintesa dimana habitat akuatik dibatasi oleh kedalaman. Kekeruhan terutama disebabkan oleh lumpur dan partikel yang dapat mengendap, sering laut menjadi faktor pembatas. Sebaliknya, bila kekeruhan disebabkan oleh fitoplankton, ukuran kekeruhan ini merupakan indikasi produktifitas (Odum, 1993)
Tingkat kecerahan adalah suatu angka yang menunjukkan jarak penetrasi cahaya matahari ke dalam kolom air yang masih bisa dilihat oleh mata kita yang berada di atas permukaan air. Alat yang digunakan untuk mengukur tingkat kecerahan dikenal dengan nama secchi disc. Alat ini berbentuk bundar datar dengan garis tengah ± 20 cm yang dihubungkan dengan seutas tali. Pada tali tersebut dibuat simpul setiap jarak setengah meter atau setiap jarak 1 meter. Sedangkan pada permukaan plat dicat hitam putih untuk mempermudah observasi. Selanjutnya untuk mengukur tingkat kecerahan perairan, secchi disc ditenggelamkan ke dalam kolom air sambil menghitung simpul-simpul pada tali yang terentang sehingga mendapat angka dalam satuan meter (Wibisono, 2005).



Faktor Kimia

a.Nitrat
Pemeriksaan kandungan nitrat sebagai kandungan hara perlu dilakukan karena parameter tersebut termasuk parameter yang menentukan tingkat kesuburan perairan. Bila kadarnya terlalu tinggi bisa menyebabkan perairan menjadi blooming dari salah satu jenis fitoplankton yang mengeluarkan toksin (Wibisono, 2005). Muchtar (1980) dalam Simanjuntak (1995) menambahkan bahwa nitrat merupakan salah satu unsur penting untuk sintesa protein tumbuh-tumbuhan akan tetapi pada konsentrasi tinggi dapat menstimulasi pertumbuhan ganggang.
Nitrat merupakan salah satu senyawa penting untuk sintesa protein tumbuh-tumbuhan dan hewan, akan tetapi nitrat pada konsentrasi yang tinggi dapat menstimulasi pertumbuhan ganggang yang tidak terbatas sehingga air akan mengalami kekurangan oksigen terlarut yang menyebabkan kematian organisme air (Alaerts dan Santika, 1984).
Kadar nitrat yang optimum bagi pertumbuhan plankton adalah 0,9-3,5 mg/liter dan kandungan nitrat yang kurang dari 0,114 mg/liter dan lebih besar dari 4,5 mg/liter akan menjadi faktor pembatas (Wardoyo, 1978). Selanjutnya Wasfi (2000) dalam Malaha (2004) mengklasifikasi kesuburan perairan berdasarkan kandungan nitrat sebagai berikut :


Tabel 1. Klasifikasi Tingkat Kesuburan Perairan Berdasarkan Kandungan Nitrat
Kandungan Nitrat (mg/l) Tingkat kesuburan perairan
0,0 – 1,0
1,0 - 5,0
5,0 – 50,0 Oligotrof
Mesotrof
Eutotrof

b. Phospat
Phospat merupakan unsur esensial perairan yang terdapat dalam bentuk senyawa phospat organik dan anorganik. Ortophospat (PO4) adalah contoh senyawa phospat anorganik sedangkan senyawa phospat organik terdapat dalam tubuh organisme (Wardoyo, 1981 dalam Pangerang dan Taena, 1994).
Phospat sangat berguna untuk pertumbuhan organisme dan merupakan faktor yang menentukan produktifitas badan air. Phospat berada dalam sedimen dan lumpur air bersama kehidupan biologis yang berada di atas air. Phospat dapat dijadikan sebagai parameter untuk mendeteksi pencemaran air (Michael, 1994).
Kadar phospat yang optimum bagi pertumbuhan plankton adalah 0,09-1,80 mg/liter damn merupakan faktor pembatas apabila nilainya dibawah 0,02 mg/liter (Mackentum, 1975 dalam Haryani, 1989). Selanjutnya, Anggoro (1983) menambahkan bahwa berdasarkan kandungan phospat terlarut dalam air maka kesuburan perairan dapat digolongkan sebagai berikut :
Tabel 2. Klasifikasi Tingkat Kesuburan Perairan Berdasarkan Kandungan Phospat
Kandungan Phospat (mg/l) Tingkat Kesuburan Perairan
0.000 – 0.020
0,021 - 0,050
0,051 - 0,100
0,101 - 0.200 Rendah
Cukup
Baik
Baik selaut

c. Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen/DO) adalah jumlah oksigen yang ada dalam kolom air. Dalam lingkungan perairan level oksigen terlarut dipengaruhi oleh temperatur, salinitas, dan ketinggian. Oksigen terlarut (DO) sangat dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesis dan respirasi (Afrianti, 2000). Sumber utama oksigen terlarut dalam air menurut Basyarie (1995) adalah difusi udara dan dari hasil fotosintesis biota berklorofil yang hidup di perairan.
Sutarman (1993) menambahkan bahwa pada suhu perairan yang tinggi, aktifitas metabolisme perairan akan semakin meningkat dimana pada kondisi tersebut kadar oksigen yang dikonsumsi semakin bertambah dan kelarutan oksigen dalam air menurun dengan bertambahnya suhu air, dan sebaliknya pada suhu perairan rendah, laju metabolisme dan kadar oksigen yang dikonsumsi juga rendah.
Fardiaz (1992) mengemukakan, oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan tanaman dan hewan di dalam air, kehidupan makhluk hidup dalam air tersebut tergantung pada kemampuan air untuk mempertahankan konsentrasi oksigen, minimal yang dibutuhkan untuk kehidupan. Kandungan oksigen di dalam air untuk dapat mendukung kehidupan organisme air menurut Afrianto dan Liviawati (1994) berkisar antara 4-8 mg/liter.
Parameter kualitas air berdasarkan kandungan oksigen terlarut (DO) menurut (Schmitz, 1971 dalam Alfan, 1995) sebagai berikut :

Tabel 3. Tingkat Kualitas Air Berdasarkan Kandungan Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen Terlarut (mg/l) Kualitas air
> 8
6
4
2
< 2 Sangat baik
Baik
Kritis
Buruk
Sangat buruk


d. Derajat Keasaman (pH)
Unsur hidrogen adalah kunci untuk menentukan sifat asam atau basa suatu larutan dimana ion hidrogen (H+) menunjukkan kondisi asam dan ion hidroksida (OH-) menunjukkan kondisi basa (Nybakken, 1992).
Air yang masih segar dari pegunungan biasanya mempunyai pH yang lebih tinggi, makin lama pH air akan makin menurun menuju keadaan asam. Hal ini disebabkan pertambahan bahan-bahan organik yang kemudian membebaskan CO2 saat proses penguraian (Sastrawijaya, 1991).
Nilai pH air normal umumnya antara 6 sampai 8. sedangkan pH air yang terpolusi, misalnya air buangan, juga berbeda-beda tergantung dari jenis buangannya. Perubahan keasaman pada air buangan, baik ke arah allaut (pH naik) maupun ke arah air asam pH turun), sangat mengganggu kehidupan organisme akuatik di sekitarnya (Fardiaz, 1992).
Pada dasarnya jenis ikan air tawar menurut Lesmana (2005) memiliki kemampuan toleransi yang berbeda terhadap pH. Ikan dewasa akan lebih baik toleransinya terhadap pH disbanding ikan berukuran kecil, larva ataupun telur. Sedangkan toleransi yang umum dari ikan air tawar terhadap pH pada kisaran 6,5-7,5.
e. Salinitas
Salinitas menggambarkan kadar garam-garam yang terlarut dalam air . Brotowidjoyo (1995) menyatakan bahwa salinitas dapat berbeda–beda tergantung evaporasi dan transparansi, perbedaan salinitas akan mempengaruhi densitas air, tekanan osmosis didalamnya dan kelarutan gas dalam air.
Salinitas air laut umunya tinggi (35.000 mg/1), sedangkan salinitas air payau dapat lebih rendah dari air laut cukup air tawar dan dapat jauh lebih tinggi karena proses penguapan (Cholik dkk., 1989).





Plankton

Nontji (2005) menyatakan, plankton adalah organisme renik yang umumnya melayang-layang dalam air atau kemampuan renangnya lemah sehingga pergerakannya sangat tergantung dari pergerakan air. Plankton dapat berupa tumbuhan (fitoplankton) maupun hewan (zooplankton).
Plankton yang hidup di air tawar terdiri dari lima kelompok besar yaitu Cyanophyta (alga biru), Chlorophyta (alga hijau), Chrysophyta (alga kuning), Pyrophyta dan euglenophyta. Dari setiap jenis plankton yang ada tersebut, mempunyai respon yang berbeda-beda terhadap kondisi perairan khususnya unsur hara, sehingga komposisi jenis fitoplankton bervariasi dari satu tempat ke tempat lain (Whitten, 1995).
Kelimpahan plankton secara terus-menerus berubah pada berbagai tingkatan (skala) sebagai respon terhadap perubahan kondisi lingkungan, baik yang ada di suatu perairan mempunyai penyebaran dan aktivitas yang berbeda. Hal ini dipengaruhi berbagai faktor fisik dan kimiawi perairan (Effendi, 2000).

Produktivitas Primer Perairan
Produktivitas primer perairan didefinisikan sebagai laju pembentukan senyawa-senyawa organik dari senyawa-senyawa anorganik. Jumlah seluruh bahan organik yang terbentuk dalam proses produktivitas primer kotor atau produksi total ini digunakan oleh tumbuh-tumbuhan untuk kelangsungan proses-proses hidup yang secara kolektif disebut respirasi, tinggal sebagian dari produksi total yang tersedia bagi pemindahan kalori atau pemanfaatan oleh organisme tersebut. Produktivitas primer bersih merupakan selisih dari produktivitas primer kotor dengan respirasi oleh tumbuhan (Nybakken, 1992).
Produktivitas primer dibedakan atas dua macam, yaitu produktivitas primer kotor (Gross Primary Productivity) dan produktivitas primer bersih (Net Primary Productivity). Produktivitas primer kotor adalah laju produksi zat organik secara keseluruhan, sedangkan produktivitas primer bersi adalah laju produksi primer zat organik dikurangi dengan yang digunakan untuk respirasi (Boyd, 1981 dalam Nasrawati, 2000).













III. METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1. Waktu dan Tempat
Praktikum lapang ini dilaksanakan pada hari minggu tanggal 14 Desember 2008, dan bertempat di kelurahan Bungkutoko, kec. Nambo, Sulawesi Tenggara.
Praktikum Laboratorium di laksanakan pada hari Selasa tanggal 16 Desember 2008 dan Kamis tanggal 18 Desember 2008 bertempat dilaboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,Universitas Haluoleo Kendari.

3.2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum ini dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Alat dan Bahan yang digunakan pada praktikum ini beserta kegunaannya:
No. Alat dan Bahan Satuan Kegunaan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
Plankton net
Handrefraktometer
Thermometer
pH
Botol roll
Ember
Alkohol 70%
Mikroskop
Botol terang
Botol gelap
DO meter
Erlenmeyer
Pipet/Spoit
Buret
Spektrofotometer
Rak tabung
Kompor listrik
Tabung reaksi
Gelas ukur
Larutan Tiosulfat
Larutan NaOH-KI
Larutan H¬¬¬2SO4
Larutan Kanji
Larutan MnSO4
Ml
ppt
0C


Liter
%

ml
ml

ml
ml
ml
Absorban


ml
ml Menyaring plankton
Menentukan salinitas
Menentukan suhu
Menentukan kehasaman
Mengambil sampel
Mengambil air
Mengawetkan
Melihat plankton
Menyimpan sampel
Menyimpan sampel
Mengukur DO
Menyimpan Larutan
Mengambil sampel/alkohol

Menghitung konsentrasi nitrat/phosfat
Menyimpan tabung reaksi
Memanaskan sampel
Menyimpan sampel
Menyimpan sampel



3.3. Prosedur Kerja
a. Plankton
1. Menentukan lokasi pengambilan contoh resfrentatif
2. Menyaring sampel air sebanyak 50 liter dengan menggunakan plankton net
3. Memasukan sampel plankton kedalam botol sampel dan diberikan larutan pengawet alkohol 70% sebanyak tetes , kemudian diinkubasi pada suhu 270 C selama 46 jam dan selanjutnya dianalisis di laboratorium.
4. Mengamati plankton dengan menggunakan mikroskop kemudian Mengidentifikasi jenis-jenis plakton.
5. Menghitung kelimpahan plankton yang ditemukan diperairan.

b. Oksigen Terlarut (DO) dengan Metode Titrasi
1. Memasukkan air yang diambil pada kedalaman tertentu ke dalam tiap botol.
2. Menginkubasikan botol gelap dan botol terang pada kedalaman dimana sampel air diambil selama 4 jam.
3. Memasukkan 2 ml larutan Mangan sulfat ke dalam sampel yang sudah ada dalam botol dengan menggunakan pipet.
4. Menambahkan 2 ml larutan alkali-iodida-azida (NaOH-KI). Kemudian botol ditutup sambil dikocok sampai mengendap.
5. Menyimpan selama 10 menit kemudian ditambahkan 2 ml larutan H2SO4.
6. Menambahkan larutan kanji 2 – 3 tetes kemudian ditambah larutan Natrium tiosulfat.
7. Menghitung kandungan oksigen terlarut, laju respirasi, produksi primer kotor, dan produksi primer bersih.

c. Nitrat
1. Memasukkan air yang diambil pada kedalaman tertentu ke dalam botol, kemudian di ingkubasikan selama 48 jam.
2. Mengambil sampel sebanyak 5 ml ke dalam tabung reaksi dengan menggunakan pipet tetes kemudian ditambahkan NaCl sebanyak 1 ml lalu dikocok.
3. Memanaskan kedalam air selama 20 menit, di dinginkan, kemudian menghitung konsentrasi

d. Phosfat
1. Memasukkan air yang diambil pada kedalaman tertentu ke dalam botol, kemudian di ingkubasikan selama 48 jam.
2. Mengambil sampel 5 ml ke dalam gelas ukur dengan menggunakan pipet tetes kemudian ditambahkan Amonium molibdat sebanyak 2,5 ml
3. Mengencerkan ke 12,5 ml
4. Mengamati perubahan warna lalu menghitung konsentrasinya



3.4. Analisis Data
a. Kelimpahan Plankton

Keterangan :
N = Jumlah total Individu / liter
Oi = Luas gelas penutup (mm¬2)
Op = Luas satu lapang pandang (mm¬2)
Vo = Volume satu tetes air yang diamati (ml)
Vr = Volume air yang tersaring dalam total sampel (mm)
Vs = Volume air yang tersaring (liter)
n = Jumlah plankton pada seluruh lapang pandang
p = Jumlah lapang pandang

b. Keanekaragaman Jenis

H’ = - ∑ Pi log Pi
= - ∑ (ni/N) log (ni/N)
Keterangan :
H’ = Indeks keanekaragaman jenis
Pi = ni/N
ni = Jumlah Individu ke-i
N = Jumlah total individu
Kriteria :
H’< 1= keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap spesies rendah dan stabilitas komunitas rendah.
1 < H’<3 = Keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap spesies sedang dan stabilitas komunitas sedang.
H’ > 3 = Keanekaragamn tinggi, penyebaran jumlah individu tiap spesies tinggi dan stabilitas komunitas tinggi.

c. Keseragaman Jenis
E = H’/ Hmax

Keterangan :
E = Indeks keseragaman jenis
H’ = Indeks keanekaragaman jenis
Hmax = Log2S
S = Jumlah spesies
d. Dominansi
C = ∑ (ni/N)2
Keterangan ;
C = Indeks dominansi
ni = Jumlah individu spesies ke-i
N = Jumlah total individu

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Pengamatan

Tabel 2. Hasil pengukuran faktor lingkungan pada perairan pantai Bungkutoko
No. Variabel Nilai
1.
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12 Suhu
pH
Salinitas
Nitrat
Phosfat
DO inisial
DO botol terang
DO botol gelap
GPP
NPP
R
GP 270C
7
4 %
0,359 Absorban
0,057 Absorban
0,2717 mg/l
0,4046 mg/l
0,2410 mg/l
0,1636mg/l
0,1329 mg/l
0,0307 mg/l
0,3775 mg/l







Tabel 3. Hasil Pengamatan Plankton
No. Jenis plankton Jumlah % N H’ E C
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8. Nitzschia sp.
Achantoceros sp.

Stauroneis sp.

Surire sp.

Cryptomonas

Achnanthes hauckiana

Oxyphysis sp.

Dinophysis acuminata 6
1

1

1

1

1

1

1
46,15
7,69
7,69
7,69
7,69
7,69
7,69
7,69 193,53
32,25
32,25
32,25
32,25
32,25
32,25
32,25 0,0143
0,0024
0,0024
0,0024
0,0024
0,0024
0,0024
0,0024
Jumlah total 13 99,98 419,28 0,6277 0,7428 0,00024456


Pembahasan
a. Faktor Fisika
1. Suhu

Suhu merupakan faktor kualitas air yang sangat mempengaruhi kehidupan organisme perairan baik secara langsung maupun tidak langsung. Seperti pernyataan Huet (1971) dalam Alfan (1995), bahwa suhu secara langsung mempengharuhi proses kehidupan organisme seperti terganggunya pertumbuhan dan reproduksi, Sedangkan secara tidak langsung mempengaruhi daya larut oksigen.
Berdasarkan hasil pengamatan suhu di perairan laut Bungkutoko, didapatkan bahwa suhunya 27o C, suhu ini tergolong normal untuk pertumbuhan organisme. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nontji (1993), bahwa suhu optimum yang dapat ditoleransi oleh organisme laut adalah berkisar 27-31 oC. Suhu ini memungkinkan badan air untuk mengikat oksigen bebas dari udara secara optimal. Menurut Afrianto dan Liviawaty (1994), bahwa suhu lingkungan yang normal menyebabkan kemampuan air untuk mengikat oksigen terlarut (DO) menjadi maksimal. Selain itu, suhu yang sesuai dapat mengakibatkan proses metabolisme berjalan normal sehingga konsumsi oleh organisme dalam air juga akan berjalan dengan normal.

2. Kecerahan

Tingkat kecerahan adalah suatu angka yang menunjukkan jarak penetrasi cahaya matahari ke dalam kolom air yang masih dapat dilihat oleh mata kita yang berada di atas permukaan air. Kedalaman suatu perairan merupakan salah satu faktor yang membatasi kecerahan perairan. Menurut Sidabutar dan Edward (1995), bahwa kecerahan sangat ditentukan oleh intensitas cahaya matahari dan partikel-partikel organik dan anorganik yang melayang-layang di kolom air.
Berdasarkan hasil pengamatan dari pengukuran tingkat kecerahan pada perairan laut Bungkutoko dengan menggunakan alat Sechi dick, diperoleh kecerahan sebesara 24 cm dengan kedalaman 79 cm. Hal ini disebabkan karena penetrasi cahaya dihalangi oleh partikel-partikel zat terlarut seperti Lumpur dan partikel-partikel lain yang mengendap. Dengan tingkat kecerahan yang rendah tersebut akan mengakibatkan organisme nabati tidak akan dapat melakukan proses fotosintesis untuk menghasilkan energi dan bahan makanan. Menurut Odum (1993), bahwa bila kekeruhan disebabkan oleh fotoplankton, maka ukuran kekeruhan merupakan indikasi produktivitas perairan.

b. Faktor Kimia
1. Nitrat
Nitrat merupakan salah satu senyawa kimia yang penting untuk mendukung kehidupan organisme perairan. Nitrat merupakan salah satu bahan dasar dalam proses fotosintesis organisme primer, yang dapat memberi suplay makanan bagi organisme lain di perairan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nybakken (1992) bahwa nutrien (phospat dan nitrat) dibutuhkan tumbuh-tumbuhan untuk sintesa zat organik dalam fotosintesis. Selanjutnya dijelaskan bahwa persediaan nutrien esensial ini dalam beberapa hal dapat menjadi pembatas produksi tumbuh-tumbuhan.
Meskipun sangat dibutuhkan, namun konsentrasi nitrat yang berlebihan dapat berakibat buruk bagi kehidupan organisme di perairan. Konsentrasi nitrat yang tinggi dapat memacu pertumbuhan ganggang yang berlebihan yang dapat menurunkan kadar oksigen terlarut. Hal ini sesuai dengan pendapat Alaerts dan Santika (1984) bahwa nitrat merupakan salah satu senyawa penting untuk sintesa protein tumbuh-tumbuhan dan hewan, akan tetapi nitrat pada konsentrasi yang tinggi dapat menstimulasi pertumbuhan ganggang yang tidak terbatas, sehingga air dapat kekurangan oksigen terlarut yang menyebabkan kematian ikan. Berdasarkan hasil pengukuran kandungan Nitrat di perairan laut Bungkutoko adalah 0,359 absorbansi. Kandungan nitrat tersebut menunjukkan bahwa perairan tersebut tidak tercemar. Hal ini sesuai penyataan Wardoyo, 1978 bahwa kadar nitrat yang optimum bagi pertumbuhan plankton adalah 0,9-3,5 mg/liter dan kandungan nitrat yang kurang dari 0,114 mg/liter dan lebih besar dari 4,5 mg/liter akan menjadi faktor pembatas .
2. Phosfat
Phosfat merupakan salah satu bentuk senyawa yang terdapat dalam perairan. Unsur Phosfat terdapat dalam bentuk senyawa Phosfat organik dan anorganik. Senyawa Phosfat organik terdapat dalam tubuh organisme sedangkan senyawa phosfat anorganik terdapat dalam bentuk orthofosphat (Wardoyo, 1975).
Phosfat juga merupakan senyawa kimia yang sangat penting untuk menunjang kehidupan organisme di perairan. Phospat berperan dalam pertumbuhan organisme dan merupakan salah satu faktor penentu kesuburan perairan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Michael (1994) bahwa phospat sangat berguna untuk pertumbuhan organisme dan merupakan faktor yang menentukan produktifitas badan air. Selanjutnya dijelaskan bahwa phospat berada dalam sedimen dan lumpur air bersama dengan kehidupan biologis yang berada di atas air, dan phospat dapat dijadikan sebagai parameter untuk mendeteksi pencemaran perairan.
Berdasarkan hasil pengukuran, kandungan phosfat di perairan laut Bungkutoko adalah 0,057 absorbansi, Nilai phosfat yang terdapat di perairan ini menunjukkan bahwa kondisi perairan tersebut baik. Hal ini sesuai penyataan Anggoro (1983) bahwa kandungan phosfat antara 0,5 – 0,1 menunjukkan perairan tersebut dalam kondisi baik.

3. Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut merupakan suatu senyawa kimia yang sangat dibutuhkan oleh organisme air dalam melakukan proses respirasi dan dapat mendukung eksistensi organisme. Hal ini didukung oleh pernyataan Muson (1981, dalam Putri, 1997) bahwa oksigen terlarut dalam ekosistem perairan sangat penting untuk mendukung eksistensi organisme dan proses-proses terjadi di dalamnya. Hal ini terlihat dari peranan oksigen selain digunakan unutuk respirasi organisme air, juga dipakai untuk organisme dekomposer (bakteri dan fungi) dalam proses dekomposisi bahan organik dalam perairan.
Pada praktek lapang ini, dilakukan pengukuran oksigen terlarut (DO) di perairan laut Bungkutoko, dengan menggunakan 3 buah botol sampel yaitu botol Inisial (BI), Botol Terang (BT) dan Botol Gelap (BG). Dimana dari hasil pengukuran tersebut diperoleh nilai Oksigen Terlarut (DO) dari masing-masing botol sampel. Nilai DO untuk botol inisial adalah 0,2717mg/L, botol terang sebesar 0,4046 mg/L dan botol gelap sebesar 0,2410 mg/L. Berdasarkan nilai yang diperoleh, maka dapat diketahui bahwa kandungan Oksigen terlarut pada perairan laut Bungkutoko sangat rendah dan tidak dapat mendukung kehidupan organisme. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Schmitz, 1971 dalam Alfan, 1995), bahwa kandungan Oksigen terlarut (DO) didalam air yang dapat mendukung kehidupan organisme air berkisar antara 4-8 mg/L.

4. Derajat Keasaman (pH)
pH merupakan salah satu parameter kimia yang digunakan untuk mengetahui kualitas suatu perairan. Nilai pH yang didapatkan yaitu 7,0. Ini berarti kadar pH pada kolam yaitu bersifat netral. Wardoyo (1981) menyatakan bahwa nilai pH dibawah 7,0 adalah asam, diatas 7,0 adalah basa dan 7,0 adalah netral. Keasaaman air dipengaruhi oleh keasamaan tanah, bila keasaman tanah tinggi, maka keasaman air pun tinggi.
5. Salinitas
Salinitas merupakan jumlah garam-garam yang terlarut dalam kolom perairan, variasi salinitas mempengaruhi laju fotosintesis dalam perairan, terutama di daerah estuari (Anonim, 1985).
Berdasarkan hasil pengukuran, kisaran salinitas yang diperoleh sebesar 4% . Tingginya kadar salinitas yang diperoleh disebabkan oleh lokasi pengambilan sampel yang dipengaruhi pasang-surut air laut.
c. Plankton
Plankton dalam hal ini fitoplankton merupakan komponen yang penting di perairan, karena besarnya produktivitas primer dalam suatu perairan ditentukan oleh seberapa besar jumlah populasi fitoplankton dalam perairan tersebut. Seperti pernyataan Hamid (2006), bahwa fitoplankton merupakan komponen perairan yang menentukan besarnya produktivitas primer di perairan tersebut, karena jumlah populasi fitoplankton merupakan nilai dari produktivitas primer.
Dari hasil pengamatan terhadap kelimpahan fitoplankton, diketahui bahwa jenis Nitzschia sp. memiliki kelimpahan tertinggi yaitu 0,0143 ind/l. Sedangkan jenis Achantoceros sp, Stauroineis sp, Surire sp, Cryptomonas sp, Achananthes hauckiana,Oxyphysis sp, Dinophysis acuminata memiliki kelimpahan 0,0024. Hal ini disebabkan karena jenis ini memiliki toleransi yang sesuai terhadap kondisi perairan laut Bungkutoko. Ini sesuai dengan penyataan Whitten (1995), bahwa plankton mempunyai respon yang berbeda-beda terhadap kondisi perairan khususnya unsur hara, sehingga jenis fitoplankton bervariasi dari satu tempat ke tempat lain.

d. Produktivitas Perairan
Produktivitas primer perairan didefinisikan sebagai kemampuan organisme produsen dalam badan air untuk menghasilkan bahan organik dari bahan anorganik. Produktivitas pimer juga merupakan parameter indeks banyak sedikitnya fitoplankton di perairan. Penentuan produktivitas primer dapat diketahui dengan metode perhitungan seluruh karbon yang dihasilkan oleh fitoplankton dan organisme produsen lainnya.
Produktivitas primer perairan tidak dapat langsung ditetapkan dari nilai produktivitas secara keseluruhan, sebab dari laju produksi zat organik oleh fitoplankton ternyata juga digunakan oleh fitoplankton itu sendiri dalam bentuk respirasi sehingga diperoleh produktivitas primer bersih yang lebih sedikit dari total laju produktivitas. Berdasarkan hasil pengukuran karbon dalam perairan, diperoleh nilai produktivitas primer kotor (GPP) 0,1636 mg/L, nilai produktifitas primer bersih 0,1329 mg/L sedangkan laju respirasi 0,0307 mg/L
Produktivitas primer sangat dipengaruhi oleh Nitrat (N) dan Phospat (P). Bila dikorelasi dengan konsentrasi Nitrat dan Phospat yang tergolong dalam taraf perairan mesotrof. Untuk konsentarsi Nitrat terletak pada taraf sedang pada konsentarsi P berarti produktivitas primer di perairan laut Bungkutoko dalam keadaan yang kurang subur.














V. PENUTUP

A.Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan, maka ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil pengukuran suhu di perairan laut Bungkutoko yaitu sebesar 27oC.kondisi suhu ini menunjukkan bahwa suhu di perairan tersebut berada dalam keadaan stabil. Sedangkan salinitasnya sebesar 4%, tingginya salinitas ini disebabkan oleh lokasi pengambilan sampel yang dipengaruhi oleh pasang surut.
2. Berdasarkan hasil pengukuran untuk parameter kimia diperoleh konsentrasi Nitrat dan Phospat di perairan Laut Bungkutoko, yaitu untuk nitrat sebesar 0,359 mg/L dan Phospat sebesar 0,057 mg/L, yang artinya perairan tersebut merupakan oligotrof.
3. Dari hasil pengamatan terhadap kelimpahan plankton, diketahui bahwa jenis Nitzschia sp. memiliki kelimpahan tertinggi yaitu 0,0143 ind/l. Sedangkan jenis Achantoceros sp, Stauroineis sp, Surire sp, Cryptomonas sp, Achananthes hauckiana,Oxyphysis sp, Dinophysis acuminata memiliki kelimpahan 0,0024.
4. Berdasarkan hasil pengukuran karbon dalam perairan, diperoleh nilai produktivitas primer kotor (GPP) 0,1636 mg/L, nilai produktifitas primer bersih 0,1329 mg/L sedangkan laju respirasi 0,0307 mg/L


B. Saran
Diharapkan agar dilakukan pengamatan tidak hanya pada perairan laut saja, tetapi perlu dilakukan pengamatan pada perairan tenang (lentik) seperti kolam agar dapat dibandingan tingkat produktivitas primer kedua perairan tersebut.








¬








DAFTAR PUSTAKA

Afrianti, 2000. Kamus Istilah Perikanan. Kanisius. Yogyakarta.
Afrianto, L. dan Liviawati, 1994. Teknik Pembuatan Tambak Udang. Kanisius. Yogyakarta.

Alaerts, G. dan S. Santika, 1987. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional. Surabaya.

Alfan, M.S., 1995. Evaluasi Kualitas Fisika Kimia Air, sungai Ciliwung di Wilayah Kota Administrasi Depok bagi Kepentingan Perikanan. Skripsi. IPB. Bogor.

Anggoro, S., 1983. Permasalahan Kesuburan Pertanian Bagi Peningkatan Produksi Ikan di Tambak. Paper M.A. Kolokium. Jurusan Ilmu Perairan. Fakultas Pasca Sarjana. IPB. Bogor.

Basyarie, A., 1995. Pengamatan Kualitas Perairan di kawasan Pemeliharaan Ikan Ekor Kuning (Yellow Tail) dalam Keramba Jaring Apung. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian. Bojonegoro. Serang.

Effendi, H., 2000. Telaahan Kualitas Air. IPB Press. Bogor.

Fardiaz, S., 1995. Polusi Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta.

Haryani, S.B.E., 1989. Komposisi Jenis dan Kelimpahan Phytoplankton dalam Kaitannya dengan Pertumbuhan Udang di Perairan Tambak yang Berbada Warna. PKM. Fakultas Pertanian. UNHALU. Kendari.

Lesmana, D.S., 2005. Kualitas Air Untuk Ikan Hias Air Tawar. Penebar Swadaya. Jakarta.

Malaha, K.P., 2004. Tingkat Kesuburan Perairan Berdasarkan Kandungan Unsur hara Nitrat (N) dan Phospat (P) di Perairan Sungai Balandete Kabupaten Kolaka. Skripsi. FPIK. UNHALU. Kendari.

Nasrawaty, 2000. Tingkat Produktivitas Primer Fitoplankton Areal Pertambakan Kelurahan Kambu Kecamatan Poasia Kendari. Skripsi. Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo. Kendari.

Nybakken, J.W., 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia. Jakarta.

Nontji, A., 2005. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.

Odum, E.P., 1993. Dasar-dasar Ekologi. UGM Press. Yogyakarta.

Pangerang, U.K. dan M. Taena, 1994. Studi Kualitas PerairanTeluk Kendari. Universitas Haluoleo. Kendari.

Raharja, A.S., 1997. Kondisi Hidrodinamika dan Kualitas Fisika Kimia Air Periode Musim Timur di Perairan Selat Sele Sorong. Irian Jaya.

Sastrawidjaya, A.T., 1991. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta. Jakarta.

Sidabutar, T. dan Edward, 1995. Kualitas Perairan Selat Rosenberg dan Teluk Gelanit Tual Maluku Utara. Balitbang Sumberdaya Laut LIPI. Ambon.

Simanjuntak, M., 1995. Kandungan Phospat, Nitrat, Oksigen Terlarut, Suhu dan Salinitas di Perairan Teluk Waworada Sumbawa. Puslitbang Oseanologi LIPI. Jakarta.

Sutarman, 1993. Petunjuk Praktek Pembenihan Ikan Air Tawar Skala Rumah Tangga. Kanisius. Yogyakarta.

Wardoyo, 1978. Pengelolaan Kualitas Air Bagian Akuakultur. Fakultas Perikanan. IPB. Bogor.

Whitten, A.J., 1995. Ekologi Sulawesi. UGM Press. Yogyakarta.

Wibisono, M.S., 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Grasindo. Jakarta.








LAMPIRAN
1. Oksigen Terlarut
Dik: aBI = 0,5 ml VBI = 372 ml
aBT = 0,7ml VBT = 350 ml
aBG = 0,2 ml VBG = 170 ml
Dit: a. DOBI
b. DOBT
c. DOBG
Penyelesaian


a. = = 0,2717mg/l

b. = = 0,4046 mg/l

c. = = 0,2410 mg/l

2. Plankton
Perhitungan
a. Kelimpahan
Diketahui :
Oi = 18 x 18 mm2
Op = 6,25 mm2
Vo = 0,15 mm2
Vr = 28 mm2
VS = 50 ml
P = 6


= 419,33 ind/l
b. Kelimpahan per jenis plankton
Kn = Pi x K

1.
2. = 32,2561
3. = 32,2561
4. = 32,2561
5. = 32,2561
6. = 32,2561
7. = 32,2561
3. Keanekaragaman jenis
H’ = - ∑ Pi log Pi
= - ∑ (ni/N) log (ni/N)
=

3. Produktivitas primer

Laporan Lengkap Fiswan

Laporan Dasar-dasar Aqucultur

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Lele dumbo, merupakan ikan ekonomis penting. Permintaan pasar (kosumen) terhadap lele dumbo cenderung meningkat dengan harganya di pasar cukup tinggi. Sejak tahun 1989, nama lele dumbo begitu top. Ikan lele dumbo merupakan ikan hasil perkawinan antara ikan lele afrika dan lele Taiwan. Nama latin ikan lele dumbo pada mulanya adalah Clarias fuscus, tetapi hasil identifikasi para ahli perikanan menyatakan bahwa nama latin ikan lele dumbo sebenarnya adalah Clarias garipienus. Lele hibrida eks impor dari Taiwan ini mempunyai sifat-sifat yang lebih unggul dibanding jenis ikan lainnya. Keunggulan itu adalah pertumbuhannya cepat, rasanya enak dan kandungan gizinya tinggi. Untuk mencapai berat 0,2-0,3 kg, lele dumbo hanya membutuhkan waktu sekitar 3 bulan, sedangkan lele dumbo ini seolah menutup kekurangan lele lokal yang nota bene sangat lambat perkembangannya, sehingga sangat menguntungkan bila lele dumbo diternakkan untuk diperjualbelikan.
Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi ikan maka perlu adanya pertumbuhan alami arti pertambahan bobot tubuh ikan yang akan menentukan besarnya produksi. Produksi ikan lele dumbo merupakan sumber gizi dan dapat diolah menjadi aneka makanan yang rasanya lezat. Daging ikan lele dumbo mengandung protein 17,7%, lemak 4,8%, mineral 1,2% dan nutrisi lainnya.
Dari sekian banyak jenis ikan lele, ada 6 jenis yang mempunyai potensi pedagangan yaitu jenis lele local (Clarias batrachus), Clarias melanoderma, lindi (Clarias nieuwhifi), lele kembang (Clarias teysmanni), Clarias leaiacantus, dan lele introduksi atau lele dumbo (Clarias gariepinus). Prospek agribisnis ikan lele dumbo cukup baik, terutama untuk memenuhi permintaan pasar di kota-kota besar. Sehingga dituntut untuk mempraktekkan teknik budidaya secara intensif. Budidaya (pemeliharaan) ikan lele dumbo secara intensif ditandai antara lain dengan penerapan teknologi, terutama pemberian makanan buatan (pakan) yang bergizi lengkap dan seimbang untuk mendukung kehidupan dan pertumbuhan ikan.
Ikan lele dumbo dikenal mempunyai sifat pertumbuhan yang lebih cepat,mudah dipelihara atau dibudidayakan dan mempunyai nilai ekonomis tinggi, kulit tiak bersisik dan berwarna hitam dan warna kulit menjadi lebih terang apabila terkejut, mempunyai mulut yang lebar,mampu mengambil makanan dari dasar, dapat tahan hidup dalamair yang kandungannya oksigennya rendah bahkan dapat hidup di darat untuk beberapa jam tergantung kelembapan udara di sekelilingnya. Hal tersebut yang membedakan dengan ikan lele lokal. Sehingga perlu dilakukan pembudidayaan ikan lele dumbo dan sekarang banyak yang membudidayakan ikan lele dumbo khususnya di pekarangan sempit dengan sedikit kreativitas, sebagian lahan pekarangan dapat di gunakan untuk membudidayakan lele dumbo khususnya di taman sekitar kolam.
B. Rumusan Masalah
Masalah yang dapat ditarik dalam makalah ini yaitu bagaimana cara membudidayakan Ikan Lele Dumbo.




C. Tujuan
Tujuan dari budidaya lele dumbo adalah untuk memamfaatkan sumber daya lahan semaksimal mungkin secara berkelanjutan agar dapat memberikan keuntungan dan meningkatkan produktivitas ikan persatuan luas lahan dari pengembangan budidaya ikan lele dumbo.























II. PEMBAHASAN

Ikan lele dumbo termasuk ikan pemakan segala bahan makanan (omnivor), baik bahan hewani maupun nabati. Dilihat dari jumlahnya, ikan lele dumbo banyak memakan bahan hewani dibandingkan dengan bahan nabati. Dalam siklus hidupnya, ikan lele dumbo yang hidup diperairan umum berpjah pada awal musim hujan. Namun demikian, dikolam pemijahan ikan lele dumbo bias memijah sepanjang tahun.
Biasanya apabila ikan lele bertelur akan berada didalam sarang. Besarnya sarang tergantung pada besarnya induk tersebut. Seekor lele dumbo betina mampu bertelur antara 1000-4000 butir yang akan diletakkan diatas dasar sarang. Proses spermanya di sekitar telur-telur tersebut. Selanjutnya telur yang telah dibuahi akan menetas dalam jangka waktu selama 2-3 hari. Selama itu telur akan dijaga oleh lele dumbo betina samapai menetas menjadi lele kecil.
A. Menyiapkan Kolam Pembesaran
Lele dumbo sebenarnya dapat di budidayakan secara intensif dan dapat pula dibudidayakan secara tradisional. Memang lele ini dapat hidup dikolam yang kondisinya kurang baik. Dalam air yang keruh dan jarang diganti sekalipun, dimana ikan –ikan jenis lainnya tidak dapat bertahan hidup, ikan lele ini dapat hidup dan menjadi besar. Namun, pembudidayaan lele dumbo dengan cara semacam ini tidak memberi hasil yang memuaskan. Oleh sebab itu, harus melakukan pembudidayaan secara intensif. Kolam tempat pemeliharaan lele dumbo untuk pembudidayaan secara intensif tidak boleh hanya asal membuat kubangan saja. Harus dipertimbangkan banyak faktor teknis. Tentu saja pertimbangan segi efisiensi biaya juga perlu diperhatikan.
- Pemilihan Lokasi
Langkah pertama yang perlu diperhatikan untuk membuat kolam di pekarangan adalah memilih lokasi yang tepat. Hal ini penting karena akan berpengaruh pada segi efisiensi biaya dan keindahan. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam memlih lokasi ini adalah sebagai berikut:
* Kolam harus lebih tinggi dibanding selokan agar pembuangan air lancar. Caranya, pilih lokasi yang permukaan tanahnya lebih tinggi dibanding permukaan air selokan, sehingga tidak perlu tambahan biaya. Bila tidak memungkinkan, kolam dibuat diatas permukaan tanah.
* Kolam sedapat mungkin dekat dengan sumber air dan selokan, agar biaya pembuatan saluran lebih murah. Letak dan bentuk kolam harus sesuai dengan perencanaan taman.
* Letak kolam hendaknya di tempat yang teduh, tetapi tidak berada di bawah pohon yang daunnya mudah rontok.
- Ukuran Kolam
Ukuran kolam yang ideal sangat tergantung pada jumlah lele yang akan dipelihara. Sebagai pedoman, setiap 1 m3 air dapat menampung 30-50 ekor lele berukuran sekitar 10 cm. Bila kedalaman kolam 1-1,5 m, maka setiap 1 m2 kolam dapat digunakan untuk memelihara paing sedikit 30 ekor lele.


- Bentuk dan Posisi Kolam
Bentuk segi empat persegi panjang akan membutuhkan ruang dan biaya yang lebih sedikit. Dinding kolam sebaiknya dibuat tegak lurus, karena lele memiliki patil yang dapat digunakan untuk merangkak dengan berpijak pada dinding yang agak miring. Dasar kolam sebaiknya dibuat agak miring kearah pintu pengeluaran air, agar pengeringan kolam tidak mengalami kesulitan.
Dilihat dari posisinya , kolam dapat dibuat 3 cara:
1. Kolam dibuat di atas permukaan tanah (top land)
Jenis kolam ini dibuat tanpa membuat lubang tanah sebelumnya, sehingga seluruh dinding kolam berada diatas permukaan tanah. Bagian yang masuk kedalam tananh hanya pondasi dinding dan dasar kolamnya saja. Keuntungannya yaitu menghemat tenaga karena tidak perlu membuat lubang dan mempermudah pembuangan air. Kelemahannya yaitu dapat mengurangi keindahan karena dindingnya sangat menonjol.
2. Kolam dibuat dibawah permukaan tanah (under land)
Kolam ini dibuat dengan cara melubangi tanah sesuai dengan bentuk dan ukuran .tanah. Dinding kolam yang menonjol diatas permukaan tanah hanya 20-30 cm, untuk mencegah meluapnya air hujan ke dalam kolam.
Kelebihannya, dinding kolam tidak menonjol, sehingga tidak mengganggu pemandangan dan tidak menimbulkan kesan sumpek untuk pekarangan sempit. Kekurangannya, membutuhkan tenaga kerja cukup banyak untuk mengali lubang. Disamping itu sulit dalam pembuangan air kecuali bila permukaan tanah diluar pekarangan cukup rendah sehingga dasar kolam tetap mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada permukaan air selokan. Untuk mengatasi sulitnya pembuangan air, biasanya disamping kolam dibuat pula lubang tanah yang tidak disemen dengan posisi lebih rendah daripada dasar kolam. Dengan demikian air buangan dapat dialirkan ke lubang tersebut dan dapat langsung meresap kedalam tanah.
3. Kombinasi antara top land dan under land
Kolam jernih ini dibuat juga dengan cara membuat lubang tanah. Namun, kedalaman lubang ½ kali tinggi kolam. Sebagian volume kolam akan berada dibawah permukaan tanah dan sebagian berada diatas permukaan tanah.
Keuntungan dari posisi ini ialah dinding kolam tidak terlalu menonjol, tenaga kerja pembuangan kolam tidak terlalu banyak, dan pembuangan air tidak sulit. Akan lebih baik lagi bila kedudukan permukaan dasar kolam sedikit lebih tinggi daripada ketinggian permukaan air selokan. Hal ini akan lebih mempermudah pembuangan.
- Tahap Persiapan dan Pembuatan Kolam
Tahap pertama yang harus dikerjakan dalam membuat kolam adalah merancang bentuk dan posisinya. Tahap selanjutnya adalah menyediakan alat dan bahan-bahan yang diperlukan. Alat-alat yang diperlukan dalam membuat kola mini adalah alat-alat pertukangan biasa seperti cangkul, meteran, sekop kecil, patok dan kayu papan. Sedangkan bahan yang diperlukan adalah batu-bata, semen, pasir, batu cor dan pipa paralon.




Tahapan selanjutnya adalah sebagai berikut:
1. Merancang bentuk dan posisinya. Setelah itu, tanah diukur dan ditandai. Kemudian bentuk yang dicangkul dengan kedalaman sesuai dengan yang dikehendaki. Untuk kolam top land, bagian yang dicangkul adalah bagian pondasi dan dasar kolam. Sedangkan kolam under land, Selain pondasi dan dasar kolam, ditambah kedalaman kolam. Demikian pula engan kolam gabungan antara top land dan under land.
2. Pondasi dapat dibuat dari potongan batu bata yang dipasang berseling, melintang memanjang kira-kira tiga tingkat. Pasangan setengan batu bata yang disusun memanjang dapat digunakan sebagai dinding. Adukan semen dengan pasir harus tepat yakni perbandingan 1:4. Dinding bagian dalam dibuat tegak, sedang dinding bagian luar bias miring atau tegak.
3. Dasar kolam sedikit miring kearah saluran pembuangan, agar mempermudah pengeringan kolam. Dasar kolam terdiri dari beberapa lapisan, yaitu pasir setebal 3-5 cm, beton setebal 5-8 cm, dan lapisan semen setebal 2 mm. Jika tanahnya gembur lapisan beton dapat dipertebal.
4. Bagian bibir kolam dibuat sekitar 30 cm agar lele tidak kabur dengan cara melompat.agar lebih aman bibir kolam apat dibuat agak menjorok kedalam sejauh 15-30 cm, tergantung luas kolam.
5. Saluran pemasukan air dibuat minimum 20 cm diatas permukaan air agar curahan air dapat melarutkan oksigen. Saluran dilengkapi dengan kran untuk mengatur besar kecilnya debit air. Saluran pembuangan, berfungsi untuk membuang kelebihan air secara otomatis. Saluran ini diberi saringan agar lele tidak keluar melalui saluran ini
- Memperindah Lingkungan Kolam
Bibir kolam dibuat berlekuk dan disekitarnya ditanami rumput-rumput atau tanaman hias pendek dengan latar belakang tanaman hias yang agak tinggi. Untuk mengaburkan bentuk kolam top land yang menonjol, kolam dapat dibuat bertingkat-tingkat. Atau dapat pula dibuat gunung-gunungan dari tanah yang ditanami rumput-rumputan sehingga kolam tampak seperti kawah.
B. Mendapatkan Benih
Benih merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan budidaya lele dumbo.
- Cara Memperoleh Benih
Benih lele dapat diperoleh dengan dua cara yaitu menangkapnya di alam bebas atau membuat pemijahan secara buatan pada kolam yang dipersiapkan secara khusus. Atau membelinya pada penangkar-penangkar benih atau di tempat-tempat resmi yang kualitas dan kesehatannya terjamin.
- Ukuran dan Jenis benih
Benih lele harus benar-benar dari jenis dumbo. Benih dumbo memiliki warna muda, perutnya berwarna putih, dan tubuhnya terdapat titik-titik putih berpola garis melintang. Ukuran benih harus seragam, berkisar 10-15 cm. Benih yang terlalu berbeda ukurannya menyebabkan benih kecil diserang oleh benih berukuran besar. Dalam setiap 1 m3 air kolam dapat diisi 35-50 ekor benih berukuran10-15 cm. Makin besar benih, populasi benih harus makin jarang agar gerakan lele leluasa. Kondisi benih yang sehat memiliki ciri lincah bergerak dan tidak terdapat luka.
- Pengepakan dan Pengangkutan Benih
Selama pengangkutan kekolam pembesaran, benih lele dapat mengalami stress akibat perubahan-perubahan lngkungan yang sifatnya mendadak. Benih lele dapa dikemas menjadi dua cara yaitu terbuka dan tertutup. Cara terbuka biasanya dilakukan apabila benih diangkut tidak terlalu jauh atau dibeli dari tempat pembenihan yang tidak memiliki tabung pengisi oksigen. Cara ini dinilai kurang praktis karena air dapat tumpah oleh guncangan-guncangan selama pengangkutan. Pengangkutan cara tertutup dinilai cukup praktis dan biasanya dilakukan ditempat-tempat pembenihan yang sudah baik.
C. Pembesaran
Juga memerlukan tahap pemeliharaan yang ideal pula.
- Penebaran benih
Pada saat penebaran benih dilakukan tahap-tahap sebagai berikut:
* Benih yang telah dibeli dari tempat pembenihan segera ditebarkan ke kolam.
* Kantong plastic berisi benih dimasukkan ke kolam, agar suhunya sesuai dengan suhu kolam.
* Air kolam dimasukkan kedalam kantong plastic dan dibiarkan mengapung di kolam selama 5-10 menit.
* Selama pengangkutan, besar kemungkinan benih stress akibat perubahan lingkungan. Agar benih tidak terlalu mengalami stress saat melepas ke kolam harus menggunakan cara berikut masukkan larutan PK 5 gr/m3 kekolam agar bibit penyakit yang dibawa benih mati. Kemmudian masukkan benih yang masih berada dalam plastik terikat kedalam kolam selama satu jam.
* Bila volume dalam plastik benih banyak, keluarkan setengah volume air dan ganti dengan air sedikit kolam sampai volumenya seperti semula. Bila volume air sedikit, tambahkan air kolam sebanyak setengah volume kedalam plastic benih. Biarkan selama sepuluh menit. Setelah itu, benih dilepaskan kekolam. Dua puluh empat jam setelah itu, air harus diganti dengan yang baru agar kandungan PK hilang.
* Bila ingin memelihara lele dalam ukuran yang berbeda, kolam harus disekat.
- Pengaturan Air
Air dalam kolam senantiasa mengalami perubahan baik dalam hal jumlah, sifat fisik dan kimianya. Hal ini akibat perubahan itu, suatu saat kondisi air tidak mampu mndukung kehidupan dan pertumbuhan lele secara baik. Misalnya, volume air atau kandungan O2 sangat rendah. Sehingga diperlukan pengaturan air secara kontinu.
Penggantian air dapat dilakukan dengan cara, air dikeluarkan kira-kira ½ dari air kolam yang akan diganti dengan cara membuka saluran pembuangan air. Saluran pemasukan air kemudian dibuka untuk mengganti seluruh air yang telah dkeluarkan.
Cara mengetahui debit air adalah, membuka saluran air dan ditampung dalam kaleng ukuran 1 atau 2 liter hingga penuh. Menghitung waktu yang diperlukan unuk mengisi kaleng tersebut hingga penuh.


-Pemberian Pakan
Beberapa peternak lele sering memberikan pupuk organic maupun anorganik kedalam kolam agar pakan alami lele dapat tumbuh dengan subur. Caranya dengan menabukan secara merata campuran pupuk kandang 500-900 gr, urea 20 gr/m¬¬¬¬¬¬2, dan TSP 20 gr/m2. Penaburan dilakukan satu minggu sebelum benih ikan dilepaskan. Untuk mempercepat pertmbuhan lele, beberapa peternak tradisional sering memberikan pakan tambahan yang mengandung protein seperti dedak dll. Namun perlu diketahui bila lele dumbo dipelihara secara intensif maka pakannya juga harus lebih baik. Cara pemberian pakan yang diajurkan adalah dengan metode fooding sistem yaitu pemberian pakan yang mengutamakan makanan tambahan dalam bentuk pelet. Jumlah pellet yang diberikan tidak boleh berlebihan karena benda ini merupakan bahan organik yang dapat terurai didalam air. Jenis-jenis pakan lain yang boleh diberikan sebagai selingan misalnya usus, bekicot dll. Pemberian pakan yang tidak berbentuk pelet sering hancur jika dimasukkan kedalam air. Akibatnya sulit ditangkap oleh lele kadang-kadang pakan ini juga langsung turun kedasar kolam dan bercampur dengan Lumpur tanpa smpat dimakan lele. Pemberian pakan yang berlebihan ditandai dengan makanan yang tidak disentuh. Pemberian pakan yang kurang, ditandai oleh berebutnya lele untuk memperoleh pakan. Pemberian pakan yang cukup ditandai oleh banyaknya lele yang berebut pakan.
-Biaya Pembesaran benih
Banyaknya biaya yang dibutuhkann untuk membesarkan lele dumbo sangat tergantung pada harga bahan-bahan. Lama pembesaran dan sumber air.

D. Pengendalian Hama dan Penyakit
- Tindakan yang diperlukan untuk mencegah hama penyakit lele dumbo adalah sebagai berikut:
• Pergantian air harus teratur, karena penyakit yang disebabkan oleh protozoa Ichthyopthiurius Multifilis, timbul pada kolam yang airnya tidak pernah diganti.
• Pemberian pakan dengan gizi yang cukup, sehingga lele mempunyai ketahanan tubuh
Yang prima dan tidak mudah terserang penyakit.
• Hindarkan lele dari kondisi stress baik selama pengangkutan benih, pelepasan benih,
Atau karena kondisi lingkungan yang tidak mendukung kehidupan secara baik seperti perubahan suhu air yang mendukung.
• Pilih lele yang betul-betul sehat dan pengangkutan dan penangkapan ikan harus dilakukan secara hati-hati agar tidak menimbulkan luka yang dapat mengundang penyakit.
• Untuk mencegah serangan penyakit karena benih dan air kemasan selama pengangkutan, sebelum benih ditebar sebaiknya diberi larutan PK 5 gr/m3 air.
• Kondisi kolam harus dijaga kebersihannya dari sampah, ikan-ikan mati, dan sisa-sisa bahan organik lainnya agar tidak menimbulkan jamur yang merugikan.
• Kolam sering dikontrol sehingga penyakit dapat sedini mungkin diketahui. Apabila ada lele yang terserang, harus segera diasingkan dan diobati agar tidak sempat menular pada yang lainnya. Sementara itu ikan lainnya diberi tambahan vitamin pada menu makanan agar kekebalan tubuhnya meningkat.
• Setelah panen, kolam haus dibersihkan menurut aturan jika akan digunakan untuk membesarkan lele kembali.
- Jenis dan Penanggulangannya
Yang dimaksud dengan hama pada lele adalah binatang tinggi yang langsung mengganggu kehidupan lele baik dengan cara menghisap cairan atau memakan sebagian/seluruh tubuh lele, sehingga menimbulkan luka atau kematian. Di alam bebas dan kolam terbuka, hama yang sering menyerang lele antara lain berang-berang, ula, katak, burung, serangga, musang air, ikan gabus an belut. Namun di pekarangan untuk kalangan hobiis umumnya hama yang sering menyerang hanya katak dan kucing. Apalagi bila pembudidayaan bertempat tinggal di perkotaan.
- Jenis Penyakit Parasiter dan Penanggulangan
Yang dimaksud dengan penyakit parasiter adalah penyakit yang disebabkan oleh organisme tingkat rendah seperti virus, bakteri, jamur dan protozoa yang berukuran kecil. Beberapa jenis penyakit yang sering menyerang lele dumbo adalah sebagai berikut.
a. Bakteri aeromonas dan pseudomonas
- Gejala
Ikan sering mengapung dipermukaan, nafsu makan rendah, gerakan lambat, lemah, mudah ditangkap dan suka menggosok-gosokkan badannya di benda-benda lain; kulit kasar dan pada beberapa bagian tampak lemah; sirip pecah-pecah, timbul bisul-bisul yang dapat menyebabkan borok; terjadi pendarahan terutama pada dada, perut dan pangkal sirip; insang umumnya rusak dan berubah warna menjadi keputihan atau kebiruan.
- Penyebab
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri aeromonas dan pseudomonas. Penyakit ini sangat ganas, mudah menular, dan dapat menimbulkan kematian.
- Penanggulangan
Lele yang terlanjur sakit parah, tetapi jumlahnya sedikit, misalnya 3 ekor, sebaiknya dibak.
Apabila jumlah lele yang terserang cukup banyak, sebaiknya langsung diobati di kolam. Namun, bila jumlah lele yang sudah nyata-nyata terserang baru sedikit sebaiknya pengobatan dipisahkan. Bila sudah parah sebaiknya lele dibakar. Namun, bila belum parah, misal insang belum rusak, kulit masih tampak berlendir, masih bias diobati pada tempat yang terpisah. Sementara itu, air kolam untuk ikan yang masih sehat atau air untuk pemeliharaan ikan sakit diberi PK 3 gram/m3 selama 24 jam. Setelah 24 jam, air diganti dengan yang baru. Pemberian PK ini diulangi 3-4 hari sampai semua ikan sehat kembali. Selain diobati melalui air, ikan juga diobati dengan antibiotik, misalnya, tetracyclin, kemicitin, streptomisin, yang dicampur dalam menu makanannya dengan dosis 1 mg/100 gram ikan/hari selama 2-3 minggu. Setiap alat-alat atau tangan menyetuh air dan ikan yang sakit sebaiknya segera direndam dalam larutan PK 1 gram/50 liter air.



b. Penyakit bintik putih
- Gejala
Muncul bintik putih pada permukaan kulit dan insang ikan.
- Penyebab
Penyakit ini disebabkan oleh protozoa Ichthyophipius multipilis, umumnya menyerang lele yang ada di kolam yang tidak diganti airnya.
- Penanggulangan
Penggantian air yang teratur akan dapat mencegah berjangkitnya penyakit ini. Apabila sudah terserang parah sebaiknya lele segera dibakar agar tidak menulari yang lainnya, karena lele yang sudah sakit parah akan sulit disembuhkan. Lele yang belum begitu parah dapat disembuhkan dengan merendamnya dalam larutan garam dapur (30 gram/l air) dalam waktu 1 jam dan dilakukan setiap hari, selama 3-5 hari berturut-turut. Sementara itu, lele ya ng masih sehat ditampung dalam ember dan direndam dalam larutan garam dapur dosis 20 gram/ l air selama 1 jam. Kolam dikeringkan lalu diberi kapur 0,1 kg/m2 dan diberikan selama 3 hari. Setelah 3 hari, kolam boleh dipakai kembali dengan aman. Setelah ada serangan penyakit ini sebaiknya penggantian air lebih sering dilakukan.
c. Penyakit yang disebabkan oleh jamur
- Gejala
Gejala yang ditimbulkannya oleh adanya penyakit jamur ini antara lain tumbuhnya serabut-serabut putih seperti kapas pada bagian tubuh yang luka atau yang terserang.

- Penyebab
Penyakit ini sering menyerang ikan antara lain adalah Saprolegnia dan Achlya. Peyakit ini umumnya banyak dijumpai pada kolam yang banyak yang mengandung bahan organik dan menyerang lele yang kondisinya lemah sakit atau luka.
- Penanggulangan
Untuk mengobati pnyakit ini lele sakit direndam dalam larutan PK 1 gram / 1001 selama 10 menit atau dalam larutan gagram / 1 selama 10 menit. Tindakan ini diulangi setiap hari sampai lele sembuh.
d. penyakit non Parasit
- Gejala
Gejala dari penyakit ini ditandai dengan stress, seperti ketakutan, nafsu makan berkurang, pertumbuhan lambat, atau bentuk badan tidak sempurna.
- Penyebab
Penyebabnya disebabkan oleh gangguan mikrooranisme / organisme lainnya, tetapi disebabkan oleh gangguan lingkungan, seperti perubahan suhu, pH, kandungan gas-gas(CO2) dll.
- Penanggulangan
Untuk mencegahnya harus diterapkan norma-norma pemeliharaan dengan baik seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Apabila lele sakit segera diobati, auhu terlalu tinggi diberi peneduh sementara air diganti dengan yang suhunya lebih dingin sehingga suhu turun secara perlahan-lahan.


E. Panen
Pemanenan dapat dilakukan sebagai berikut:
• Pemanenan sekaligus dilakukan dengan mengeluarkan sebagianbesar air sehingga penangkapan mudah dilakukan. Gunakan jaring apung
• Pemanenan bertahap dilakukan dengan menggunakan pancing atau jaring. Bila menggunakan pancing biarkan lele lapar terlebih dahulu. Bila menggunakan jaring pemanenan dilakukan bersamaan dengan pemberian pakan sehingga lele mudah ditangkap.














III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut:
1. Ikan lele dumbo dikenal mempunyai sifat pertumbuhan yang lebih cepat,mudah dipelihara atau dibudidayakan dan mempunyai nilai ekonomis tinggi, kulit tiak bersisik dan berwarna hitam dan warna kulit menjadi lebih terang apabila terkejut, mempunyai mulut yang lebar,mampu mengambil makanan dari dasar, dapat tahan hidup dalamair yang kandungannya oksigennya rendah bahkan dapat hidup di darat untuk beberapa jam tergantung kelembapan udara di sekelilingnya.
2. Dalam budidaya ikan lele dumbo yang harus diperhatikan yaitu: Menyiapkan kolam pembesaran, Mendapatkan benih, Pembesaran, Pengendalian hama dan penyakit, dan panen.

Fiswan (Foto taksis +-) Laporan 4

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cahaya merupakan salah satu factor abiotik yang diperlukan dalam proses fotosintesis. Dan Cahaya dengan segala aspek yang dikandungnya seperti intensitas dan panjang gelombang akan memepengaruhi secara langsung maupun tidak langsung terhadap pergerakkan atau tingkah laku ikan.
Bagi hewan laut cahaya mempunyai pengaruh terbesar secara tidak langsung yakni sebagai sumber energy untuk proses fotosintesis tumbuh-tumbuhan yang menjadi tumpuan hidup mereka karena menjadi sumber makanan. Cahaya juga merupakan factor penting dalam hubungannya antara cahaya dan perpindahan populasi laut. Selain itu reaksi ikan terhadap cahaya pun berbeda-beda, seperti fototaksis positif, preferensi untuk intensitas optimum, investigatory reflex, mengelompok dan mencari makan di bawah cahaya serta diorientasi akibat kondisi buatan dari gradient intensitas di bawah air. Reaksi ikan inilah yang dimanfaatkan untuk menangkap ikan dengan mengunakan alat bantu cahaya. Pergerakan ikan yang berbeda-beda terhadap sumber cahaya merupakan salah satu aspek yang perlu diketahui untuk meningkatkan hasil tangkapan.
Reaksi cahaya atau terang menyediakan energy pereduksi yang diperlukan untuk biosintesis karbohidrat sedangkan reaksi gelap berhubungan dengan fiksasi. Karbon mengubah CO2 menjadi glukosa sebagai salah satu karbohidrat dalam sel membantu penyerapan unsur hara dalam proses fotosintesis. Pergerakan ikan yang mendekati sumber cahaya di konsentasikan dengan mengurangi intensitas cahaya dengan cara menggunakan lampu fokus untuk mengkonsentrasikan ikan di catchable area. Pengkonsentrasian ikan hubungannnya dengan pergerakan ikan yang berbeda terhadap sumber cahaya mengakibatkan perlakuan dalam mengkonsentrasikan ikan juga berbeda
Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan praktikum yag lebih spesifik mengenai fototaksis positif dan negatif.
B. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari praktikum ini yaitu untuk mengetahui fototaksis posistif dan negatif dalam organisme suatu perairan
Kegunaan dari praktikum ini yaitu dapat memberikan informasi pada mahasiswa sehingga dapat dietahui jenis organisme yang bersifat fototaksis positif dan negatif.















II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Klasifikasi Dan Morfologi
Klasifikasi Ikan Lele dumbo ( Clarias gariepinus), menurut Heru Susanto (1998) adalah sebagai berikut :






Sumber : Dokumentasi Pribadi
Gambar 9. Lele Dumbo (Clarias Gariepinus)
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Sub kelas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Sub ordo : Siluroidae
Famili : Clariidae
Genus : Clarias
Spesies : Clarias gariepinus
Ikan lele mempunyai bentuk badan yang agak beda dengan ikan-ikan kebanyakan, maka agak sulit mengatakan bentuk badan ikan lele secara tepat. Tengah badannya mempunyai potongan membulat dengan kepala pipih kebawah (depressed). Sedangakan bagian belakang tubuhnya berbentuk pipih kesamping (compressed). Jadi pada seekor ikan lele ditemukan tiga bentuk potongan melintang yaitu pipih kebawah, bulat dan pipih kesamping (Susanto Heru, 1991).
Bentuk badan ikan lele dumbo adalah memanjang dengan bagian depan membulat dan bagian tengah sampai bagian belakang agak pipih. Kepalanya pipih dan memiliki empat pasang kumis yang memanjang serta alat pernapasan. Spesifikasi ikan lele dumbo yaitu di tandai dengan sifat–sifat sebagai berikut: pertumbuhannya cepat dan mudah dipelihara atau dibudidayakan serta mempunyai nilai tinggi, Kulit tidak bersisik dan berwarna hitam baik bagian punggung maupun perut dan warna kulit menjadi lebih terang apabila terkejut, mempunyai mulut yang lebar, mampu mengambil makanan dari dasar dan menggigit dengan giginya yang kecil-kecil serta menelan mangsanya, merupakan binatang yang aktif pada malam hari dan menyukai hidup di lingkungan yang keruh dan berlumpur, dapat tahan hidup dalam air yang kandungan oksigennya rendah, bahkan dapat hidup di darat untuk beberapa jam tergantung kelembapan udara disekelilingnya hal ini karena ikan mempunyai alat pernapasan tambahan pada bagian kepala yang dapat di gunakan untuk mengambil oksigen langsung dari udara, dan sirip dada berkembang patil yang keras fungsinya sebagai alat gerak dan pelindung, tetapi patil tersebut kurang beracun (Rukmana Rahmat, 2003)
B. Fototaksis
Pengaruh cahaya terhadap masing-masing perlakuan adalah berbeda. Untuk perbedaan posisi atas dan bawah pengaruh cahaya jauh berbeda. Artinya pada posisi atas cahaya yang diterima jauh lebih besar dibanding di bawah (Muchlisa, 1996).
Pola ikan pada umumnya akan membentuk schooling pada saat terang dan menyebar saat gelap dalam keadaan tersebar ikan akan lebih mudah dimangsa predator dibandingkan saat berkelompok adanya pengaruh cahaya buatan pada malam hari akan menarik ikan kedaerah dominansi sehingga memungkinkan mereka membentuk schooling dan lebih aman dari predator ikan-ikan yang tergolong fototaksis positif dan akan memberikan respon dengan mendekati sumber cahaya sedangkan ikan-ikan yang bersifat fototaksis negatif akan bergerak menjauhi sumber cahaya (Ciptaningtiyas, 1993).
Pada suhu 35o laju fotosintesis tidak menurun sampai ada intensitas cahaya yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa reaksi gelap kini berjalan lebih cepat. Faktor bahwa pada intensitas cahaya yang rendah laju fotosintesis itu tidak lebih besar pada 350C dibandingkan pada 20oC juga menunjang gagasan bahwa yang menjadi pembatas pada proses ialah reaksi terang. Reaksi terang ini tidak bergantung pada suhu tetapi hanyalah pada intensitas penyinaran (Kimbal, 1983).
Pola kedatangan ikan di sekitar sumber cahaya berbeda-beda, tergantung jenis dan keberadaan ikan di perairan. Pengamatan dengan menggunakan side scan sonar colour tidak dapat mengetahui jenis ikan yang berada di perairan,namun pergerakan kawanan ikan yang ada di sekitar bagan dapat diketahui. Hasil pengamatan dengan menggunakan side scan sonar colour memperlihatkan bahwa kawanan ikan berenang mendatangi sumber cahaya dari kedalamanan yang berbeda, yaitu ada yang berenang pada kisaran kedalaman 20-30 m dan ada pula yang berenang pada kisaran kedalam 5- 10 m. (Wulangi, K.S., 1993).

































III. METODE PRAKTIKUM


A. Waktu dan Tempat

Praktikum ini dilaksanakan pada hari Rabu, Tanggal 15 April 2009, pada pukul 12.30 – 02.00 WITA. Tempat dilaksankannya praktikum ini adalah di laboratorium Unit Dasar C Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo Kendari

B. Alat dan bahan
Alat yang digunakan pada praktikum haematologi yaitu sebagai berikut :
Tabel 13. Alat dan kegunaan pada praktikum Fototaksis Positif dan Negatif
No. Nama alat Kegunaan
1.
2.
3.

4. Toples kaca
Plastik hitam
Senter

Stop watch Tempat media dan hewan uji
Untuk menutup toples (fototaksis negatif)
Untuk memeberi cahaya pada toples yang tertutup
Untuk menghitung waktu pergerakkan ikan


Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah sebagai berikut :
- Ikan Lele dumbo (Clarias garipienus)
- Air tawar
C. Prosedur Kerja
Prosedur kerja dalam pengamatan ini adalah sebagai berikut :
1. menyiapkan dua buah toples, dan menyiapkan satu buah kantong plastik hitam.
2. Mengisi kedua toples dengan air dan memasukkan ikan lele masing-masing kedalam toples.
3. Membungkus satu buah toples dengan kantong plastik hitam untuk pengamatan fototaksis negatif sedangkan untuk toples yang satu dibiarkan tanpa dibungkus dengan kantong plastik sebagai pengamatan fototaksis positif
4. Mengamati perlakuan atau tingkah laku ikan pada masing-masing toples
5. Mencatat hasil pengamatan





















IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan

Hasil Pengamatan pada praktikum Fototaksis negatif dapat dilihat pada tabel 12. adalah sebagai berikut :
Tingkat toleransi (menit) Tingkah laku
0 - 5


6 - 10


11 - 15

16 - 20 Ikan dalam keadaan normal, berdiam diri di dasar perairan, operculumnya bergerak cepat.

Berdiam diri terus di dasar perairan, operculumnya masih bergerak cepat.

Ikan lebih banyak diam

Ikan masih berdiam diri di dasar disebabkan karena pengaruh ingkungan yang gelap bersifat fototaksis negatif

Hasil Pengamatan pada praktikum Fototaksis positif dapat dilihat pada tabel 13. adalah sebagai berikut :
Tingkat toleransi (menit) Tingkah laku
0 - 5


6 - 10


11 - 15

16 - 20 Ikan dalam keadaan normal, berdiam diri di dasar perairan, operculumnya bergerak cepat.

Bergerak aktif di dasar perairan, mulut berada pada permukaan air.

Ikan lebih banyak bergerak naik turun ke permukaan

Iikan semakin bergerak cepat kesegala arah.
B. Pembahasan
Berdasarkan pengamatan pada fotaksisi negatif yaitu dari menit pertama sampai menit terakhir ikan masih berdiam diri di dasar dan operculumnya masih aktif hal ini disebabkan karena pengaruh lingkungan yang gelap dan bersifat fototaksis negatif hal ini sesuai dengan pernyataan Rukmana (2003) yang mengatakan bahwa ikan lele dumbo (C. garipienus) termasuk binatang malam (nokturnal) yaitu aktif mencari makan pada malam hari atau dalam keadaan gelap. Ikan - ikan yang bersifat nokturnal ini umumnya memiliki kemampuan mencari makan akan berada di sekitar pencahayaan selama makanan masih tersedia dan akan meninggalkan daerah pencahayaan apabila makanan tidak ada lagi. Hal ini didukung dengan pernyataan suyanto (2007) bahwa ikan pada umumnya akan membentuk schooling pada saat terang dan menyebar pada saat gelap. Dalam keadaan tersebar ikan akan lebih mudah dimangsa predator dibandingkan saat berkelompok. Adanya pengaruh cahaya buatan pada malam hari akan menarik ikan ke daerah iluminasi, sehingga memungkinkan mereka membentuk schooling dan lebih aman dari incaran predator. Ikan – ikan yang tergolong fototaksis positif akan memberikan respon dengan mendekati sumber cahaya, sedangkan ikan-ikan yang bersifat fototaksis negatif akan bergerak menjauhi cahaya.
Berdasarkan pengamatan pada fotataksis positif dimana pada menit pertama ikan masih normal tetapi pada menit terakhir ikan mulai gelisah dan naik turun kepermukaan dan bergerak ke segala arah hal ini memberikan respon dengan mendekati cahaya dan pola kedatangan ikan di sekitar pencahayaan ada yang langsung menuju sumber cahaya dan ada juga yang masih berada di sekitar sumber pencahayaan. Hal ini terjadi karena ketertarikan ikan berbeda-beda terhadap cahaya. Ikan-ikan yang pola kedatangannya tidak langsung masuk ke dalam sumber cahaya diindikasikan mendatangi cahaya karena ingin mencari makan. Pola kedatangan ikan hubungannya dengan arah memperlihatkan bahwa ikan cenderung mendatangi sumber pencahayaan dari arah kiri dan kanan bagan. Hal ini dikarenakan ikan yang mendatangi sumber cahaya membutuhkan adaptasi dari suatu daerah yang baru, sehingga ikan mendatangi cahaya dengan arah memotong arah arus. Pergerakan arah memotong arus ini diindikasikan untuk menjaga jika di daerah tersebut terdapat predator dapat segera berbalik arah searah dengan arus agar cepat meloloskan diri. hal ini sesuai dengan pernyataan oleh Asmawati (1983) bahwa ikan pelagis kecil terdistribusi dikedalaman 15 Π60 m, perbedaan ini diindikasikan karena jenis ikan yang berbeda dan kedalaman renang ikan yang berbeda tergantung dari kondisi yang optimum ikan tersebut. Demikian pula respon ikan berbeda terhadap cahaya mengakibatkan pola pergerakan ikan mendekati cahaya juga berbeda.
Menurut Muchlisa (1996) setiap organisme memiliki toleransi yang berbeda terhadap cahaya. Pada intensitas cahaya tertentu mereka akan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, maka dapat dikatakan bahwa intensitas optimum. Bila intensitas cahaya terlalu tinggi mereka justru menghindarinya karena larva memiliki batas kisaran toleransi tertentu terhadap intensitas cahaya. Kuatnya intensitas cahaya dapat meningkatkan temperatur dan mereduksi salinitas yans menyebabkan bebebrapa larva dapat mengalami kematian bila mereka berada dalam intensitas yang terlalu tinggi, sehingga mereka dapat benar-benar dipermukaan air.




















V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Simpulan dari praktikum kali ini adalah sebagai berikut :
- Ketertarikan ikan berbeda-beda terhadap cahaya. Ikan-ikan yang pola kedatangannya tidak langsung masuk ke dalam sumber cahaya diindikasikan mendatangi cahaya karena ingin mencari makan
- Ikan memiliki respon cahaya yang berbeda-beda ada jenis ikan tertentu yang menyukai cahaya atau fototaksis positif dan ada jga ikan yang tidak menyukai cahaya (fototaksis negatif)
- Ikan Lele dumbo (Clarias garipienus) bersifat fototaksis negative atau tidak menyukai cahaya dan ikan lele dumbo merupakan ikan yang bersifat nocturnal atau aktif mencari makan pada malam hari.
B. Saran
Saran yang dapat saya ajukan agar dalam melihat fototaksis positif dan negatif dapat dilihat pada media lain selain toples dan pada media yang lebih besar. Dan waktu yang diberikan lebih lama untuk mengamati tingkah lakunya.





DAFTAR PUSTAKA

Asmawati, 1983. Pemeliharaan Ikan Dalam Keramba. PT Gramedia. Jakarta.

Ciptaningtiyas, 1993. Tingkat Pencemaran Perairan Pelabuhan Tanjung Priuk Jakarta. Skripsi IPB. Bogor.

Djuhanda, T., 1981. Dunia Ikan. Armico. Bandung.

John w. Kimball. 1983. Biologi. Penerbit Erlangga. Jakarta
Suyamto. 2007. Kualitas suatu perairan berbagai organisme. Gramedia. Jakarta
Susanto Heru. 1991. Budidaya Ikan di Pekarangan. Kanisius. Yogyakarta
Susanto Heru. 1998. Budidaya Ikan Lele. Kanisius. Yogyakarta.
Rukmana Rahmat. 2003. Lele Dumbo Budidaya dan Pascapanen. Penerbit Aneka Ilmu. Jakarta

Wulangi, K.S., 1993. Prinsip-prinsip fisiologi Hewan Air. Dirjen Pendidikan Tinggi. Jakarta.











LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN AIR

PENGARUH FOTOTAKSIS POSITIF DAN FOTOTAKSIS NEGATIF TERHADAP CAHAYA














OLEH :
NAMA : MAKWIN
STAMBUK : I1 A1 07 074
PROGRAM STUDI : M S P
FAKULTAS : PERIKANAN
KELOMPOK : IV (EMPAT)
ASISTEN : BAYTUL ABIDIN S.Pi


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARIS
2009

Fiswan (Laju Metabolisme) Laporan 2

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ikan merupakan hewan ektotermik yang berarti tidak menghasilkan panas tubuh, sehingga suhu tubuhnya tergantung atau menyesuaikan diri pada suhu lingkungan sekelilingnya. Ikan mempunyai derajat toleransi terhadap suhu dengan kisaran tertentu yang sangat berperan bagi pertumbuhan, inkubasi telur, konversi pakan dan resistensi terhadap penyakit. Ikan akan mengalami stress manakala terpapar pada suhu diluar kisaran yang dapat ditoleransi. Pada lingkungan perairan, faktor fisik, kimiawi dan biologis berperan dalam pengaturan homeostatis yang diperlukan bagi pertumbuhan dan reproduksi ikan. Perubahan-perubahan faktor tersebut hingga batas tertentu dapat menyebabkan stress dan timbulnya penyakit. Faktor fisik tersebut mencakup suhu, dan intensitas cahaya.
Suhu merupakan salah satu parameter kualitas air yang sangat penting dalam menunjang kehidupan organisme perairan. Pada suhu perairan yang tinggi aktifitas metabolisme akan meningkat sehingga pada kondisi demikian konsumsi oksigen akan bertambah pula, sedangkan kelarutan oksigen dalam air akan mengalami penurunan dengan bertambahnya suhu sehingga hal tersebut bisa saja menyebabkan kematian bagi organisme tertentu. Suhu media berpengaruh terhadap aktifitas enzim pencernaan. Pada proses pencernaan yang tadak sempurna akan dihasilkan banyak feses, sehingga banyak energi yang terbuang. Tetapi jika aktifitas enzim pencernaan meningkat maka laju pencernaan juga akan semakin meningkat, sehingga tingkat pengosongan lambung tinggi. Tingkat pengosongan lambung yang tinggi menyebabkan ikan cepat lapar dan nafsu makannya meningkat. Jika konsumsi pakan tinggi, nutrien yang masuk kedalam tubuh ikan juga tinggi, dengan demikian ikan memiliki energi yang cukup untuk pertumbuhan.
Ikan dalam proses pertumbuhannya, tidak semua makanan yang dimakan oleh ikan digunakan untuk pertumbuhan. Sebagian besar energi dari makanan digunakan untuk metabolisme, dan sebagiannya lagi digunakan untuk aktivitas, pertumbuhan dan reproduksi. Proses metabolisme dan faktor-faktor yang mempengaruhinya merupakan pengetahuan penting dalam pengembangan budidaya perikanan. Oleh karena itu, perlu diadakannya praktikum mengenai laju metabolisme ikan.
B. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengukur laju metabolisme Ikan Lele Dumbo (Clarias glariepinus) terhadap oksigen pada berbagai suhu media.
Sedangkan kegunaan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu yang merupakan salah satu parameter kualitas air yang dapat mempengaruhi laju metabolisme pada Ikan Lele Dumbo (C. glariepinus).


II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Klasifikasi
Klasifikasi Ikan Lele (Clarias glariepinus) menurut adalah Sudarto (2004). sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Pisces
Subclass : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Subordo : Siluroidae
Famili : Claridae
Genus : Clarias
Spesies : Clarias glariepinus.





Gambar 3. Ikan Lele (Clarias glariepinus).
(Sudarto, 2004).


Habitat atau lingkungan hidup lele (Clarias gariepinus) ialah air tawar. Meskipun air yang terbaik untuk memelihara lele ialah air sungai, air dari saluran irigasi, air tanah dari mata air, maupun air sumur, tetapi lele juga relative tahan terhadap kindisi air yang menurut ukuran kehidupan ikan dinilai kurang baik. Ikan lele (Clarias gariepinus) juga hidup dengan padat penebaran tinggi meupun pada kolam yang kadar oksigennya rendah karena lele (Clarias gariepinus) mempunyai alat pernafasan tambahan yang disebut labirin yang memungkinkan lele (Clarias gariepinus) mengambil oksigen langsung dari udara untuk pernafasannya (Sudarto, 2004).
Pada dasarnya Ikan lele (Clarias gariepinus) disebut sebagai binatang nokturnal artinya bersifat aktif pada malam hari atau suasana gelap. Oleh karena itu, di siang hari lele lebih suka bersebunyi atau berlindung di balik benda-benda atau bebatuan di dasar perairan (Lim, 1999).









B. Larva Nyamuk
Klasifikasi Larva Nyamuk (Anopheles sp.) menurut adalah Spielman (2001). sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Ordo : Diptera
Famili : Culicidae
Genus : Anopheles
Spesies : Anopheles sp.






Gambar 4. Larva Nyamuk (Anopheles sp.).
(Spielman, 2001).
Nyamuk betina menaruh telurnya, yang diberi makan berupa darah agar dapat tumbuh dan berkembang, pada dedaunan lembab atau kolam-kolam yang tidak berair di musim panas atau gugur. Sebelumnya, nyamuk betina ini menjelajahi wilayah yang ada dengan sangat teliti menggunakan reseptornya yang sangat peka yang terletak pada perutnya. Setelah menemukan tempat yang cocok, nyamuk mulai meletakkan telur-telurnya. Telur yang panjangnya kurang dari 1 mm ini diletakkan secara teratur hingga membentuk sebuah barisan teratur. Beberapa spesies nyamuk meletakkan telur-telurnya sedemikian hingga berbentuk seperti sebuah sampan. Beberapa koloni telur ini ada yang terdiri dari 300 buah telur. Telur-telur yang berwarna putih ini kemudian berubah warna menjadi semakin gelap, dan dalam beberapa jam menjadi hitam legam. Warna gelap ini berfungsi untuk melindungi telur-telur tersebut agar tidak terlihat oleh serangga maupun burung pemangsa. Sejumlah larva-larva yang lain juga berubah warna, menyesuaikan dengan warna tempat di mana mereka berada, hal ini berfungsi sebagai kamuflase agar tidak mudah terlihat oleh pemangsa. Larva-larva ini berubah warna melalui berbagai proses kimia yang terjadi pada tubuhnya (Gillett, 1972)
Nyamuk adalah serangga tergolong dalam order Diptera; genera termasuk Anopheles, Culex, Psorophora, Ochlerotatus, Aedes, Sabethes, Wyeomyia, Culiseta, dan Haemagoggus untuk jumlah keseluruhan sekitar 35 genera yang merangkum 2700 spesies. Nyamuk mempunyai dua sayap bersisik, tubuh yang langsing, dan enam kaki panjang; antar spesies berbeda-beda tetapi jarang sekali melebihi 15 mm. Dalam bahasa Inggris, nyamuk dikenal sebagai "Mosquito", berasal dari sebuah kata dalam bahasa Spanyol atau bahasa Portugis yang berarti lalat kecil. Penggunaan kata Mosquito bermula sejak tahun 1583. Di Britania Raya nyamuk dikenal sebagai gnats. Pada nyamuk betina, bagian mulutnya membentuk probosis panjang untuk menembus kulit mamalia (atau dalam sebagian kasus burung atau juga reptilia dan amfibi untuk menghisap darah. Nyamuk betina memerlukan protein untuk pembentukan telur dan oleh karena diet nyamuk terdiri dari madu dan jus buah, yang tidak mengandung protein, kebanyakan nyamuk betina perlu menghisap darah untuk mendapatkan protein yang diperlukan. Nyamuk jantan berbeda dengan nyamuk betina, dengan bagian mulut yang tidak sesuai untuk menghisap darah. Agak rumit nyamuk betina dari satu genus, Toxorhynchites, tidak pernah menghisap darah. Larva nyamuk besar ini merupakan pemangsa jentik-jentik nyamuk yang lain. Nyamuk melalui empat tahap yang jelas dalam siklus hidupnya: telur, larva, pupa, dan dewasa. Tempo tiga peringkat pertama bergantung kepada spesies dan suhu. Culex tarsalis bisa menyelesaikan siklus hidupnya dalam tempo 14 hari pada 20 °C dan hanya sepuluh hari pada suhu 25 °C. Sebagian spesies mempunyai siklus hidup sependek empat hari atau hingga satu bulan. Larva nyamuk dikenal sebagai jentik dan didapati di sembarang bekas berisi air. Jentik bernafas melalui saluran udara yang terdapat pada ujung ekor. Pupa biasanya seaktif larva, tetapi bernafas melalui tanduk thorakis yang terdapat pada gelung thorakis. Kebanyakan jentik memakan mikroorganisme, tetapi beberapa jentik adalah pemangsa bagi jentik spesies lain. Sebagian larva nyamuk seperti Wyeomyia hidup dalam keadaan luar biasa. Jentik-jentik spesies ini hidup dalam air tergenang dalam tumbuhan epifit atau di dalam air tergenang dalam pohon periuk kera. Jentik-jentik spesies genus Deinocerites hidup di dalam sarang ketam sepanjang pesisir pantai (Spielman, 2001).
C. Laju Metabolisme
Metabolisme adalah semua reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh makhluk hidup, terdiri atas anabolisme dan katabolisme. Anabolisme adalah proses sintesis senyawa kimia kecil menjadi molekul yang lebih besar, misalnya asam amino menjadi protein. Laju metabolisme dipengaruhi oleh faktor biotik seperti suhu, salinitas, oksigen, karbondioksida, amoniak, pH, fotoperiode, musim dan tekanan; dan abiotik seperti aktivitas, berat, kelamin, umur, scooling, stress, puasa dan ratio makan. Suhu air yang normal bagi organisme perairan adalah 20-25oC. Pada suhu perairan yang tinggi aktivitas metabolisme akan meningkat dimana pada kondisi demikian konsumsi oksigen organisme akan bertambah sedangkan kelarutan oksigen dalam air menurun dengan bertambahnya suhu sehingga menyebabkan kematian. Konsumsi oksigen berbeda tergantung dari aktivitas organisme serta faktor lingkungan temperatur dan konsentrasi oksigennya. Mortalitas benih terjadi bila suhu air mencapai 35oC (Fujaya, 2004).
Sel merupakan unit kehidupan yang terkecil, oleh karena itu sel dapat menjalankan aktivitas hidup, di antaranya metabolisme. Metabolisme adalah proses-proses kimia yang terjadi di dalam tubuh makhluk hidup/sel. Metabolisme disebut juga reaksi enzimatis, karena metabolisme terjadi selalu menggunakan katalisator enzim. Berdasarkan prosesnya metabolisme dibagi menjadi2, yaitu: 1) anabolisme/asimilasi, yaitu proses pembentukan molekul yangkompleks dengan menggunakan energi tinggi; 2) katabolisme (Dissimilasi), yaitu proses penguraian zat untuk membebaskan energi kimia yang tersimpan dalam senyawa organik tersebut. Saat molekul terurai menjadi molekul yang lebih kecil terjadi pelepasan energi sehingga terbentuk energi panas. Bila pada suatu reaksi dilepaskan energi, reaksinya disebut reaksi eksergonik. Reaksi semacam itu disebut juga reaksi eksoterm (Praweda, 2007).
Suhu perairan sangat berpengaruh terhadap laju metabolisme. Kisaran toleransi suhu antar spesies ikan satu dengan yang lainnya berbeda. Suhu tertinggi tidak selalu berakibat mematikan tetapi dapat menyebabkan gangguan stress kesehatan untuk jangka panjang, misalnya stress yang ditandai dengan tubuh lemah, kurus, dan tingkah laku abnormal. Pada suhu rendah, akibat yang ditimbulkan antara lain ikan menjadi lebih rentan terhadap infeksi fungi dan bakteri patogen akibat melemahnya sistem imun. Pada dasarnya suhu rendah memungkinkan air untuk mengandung oksigen lebih tinggi, tetapi suhu rendah menyebabkan stress pernapasan pada ikan berupa menurunnya laju pernapasan dan denyut jantung sehingga dapat berlanjut dengan pingsannya ikan-ikan akibat kekurangan oksigen. Meskipun ada ikan yang dapat mempertahankan suhu tubuh tetap hangat (endothermik), misalnya pada kelompok ikan tuna, namun sebagian besar ikan bersifat poikilothermik, yaitu suhu tubuh tergantung suhu lingkungan. Ikan tidak dapat mempertahankan temperatur tubuh yang berbeda dengan lingkungan, karena sistem pergerakan panas dalam otot-ototnya sebanding dengan yang melalui insang, sebagian besar panas dalam darah ditransfer ke otot melalui pembuluh arteri yang merupakan tempat perubahan panas. Agar suhu tubuhnya tetap stabil, ikan melakukan pergerakan misalnya diurnal, nokturnal, musiman, dan lain-lain. Apabila di suatu daerah suhu air menjadi hangat maka ikan-ikan akan bergerak ke bawah, kebagian yang lebih dingin atau bermigrasi ke tempat lain. Demikian pula sebaliknya untuk menghindari suhu yang terlalu dingin (Irianto, 2005).
Suhu media berpengaruh terhadap aktifitas enzim pencernaan. Pada proses pencernaan yang tak sempurna akan dihasilkan banyak feses, sehingga banyak energi yang terbuang. Tetapi jika aktifitas enzim pencernaan meningkat maka laju pencernaan juga akan semakin meningkat, sehingga tingkat pengosongan lambung tinggi. Tingkat pengosongan lambung yang tinggi menyebabkan ikan cepat lapar dan nafsu makannya meningkat. Jika konsumsi pakan tinggi, nutien yang masuk kedalam tubuh ikan juga tinggi, dengan demikian ikan memiliki energi yang cukup untuk pertumbuhan (Tang dan Affandi, 2001).
Suhu air merupakan salah satu sifat fisik yang dapat mempengaruhi nafsu makan dan pertumbuhan badan ikan. Suhu air yang optimal untuk benur dan nener di daerah tropis biasanya berkisar antara 25-30 oC. Sedangkan perbedaan suhu siang dan malam tidak boleh melebihi dari 5 oC. Hal ini dapat menguntungkan bagi lingkungan perairan, goncangan suhu tidak pernah drastis seperti pada lingkungan udara (Susanto, 1991).
Suhu media juga berpengaruh terhadap aktifitas enzim yang terlibat proses katabolisme dan anabolisme. Enzim metabolisme berpengaruh terhadap proses katabolisme (menghasilkan energi) dan anabolisme (sintesa nutrien menjadi senyawa baru yang dibutuhkan tubuh). Jika aktifitas enzim metabolisme meningkat maka laju proses metabolisme akan semakin cepat dan kadar metabolit dalam darah semakin tinggi. Tingginya kadar metabolit dalam darah menyebabkan ikan cepat lapar dan memiliki nafsu makan tinggi, sehingga tingkat konsumsi pakan meningkat. Konsumsi pakan yang tinggi akan meningkatkan jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh. Energi ini akan digunakan untuk proses-proses maintenance dan selanjutnya digunakan untuk pertumbuhan (Effendi, 2003).
Suhu media yang optimum akan mendorong enzim-enzim pencernaan dan metabolisme untuk bekerja secara efektif. Konsumsi pakan yang tinggi yang disertai dengan proses pencernaan dan metabolisme yang efektif, akan menghasilkan energi yang optimal untuk pertumbuhan. Proses metabolisme ikan umumnya meningkat jika suhu naik hingga dibawah batas yang mematikan. Berdasarkan hukum van’t Hoff, kenaikan suhu sebesar 10 °C akan menyebabkan kecepatan reaksi metabolisme meningkat 2-3 kali lipat dibandingkan pada kondisi normal. Kebutuhan protein pada ikan untuk mendapatkan pertumbuhan yang optimum sangat dipengaruhi oleh suhu. Contoh pada suhu 20 oC pada ikan Channel Catfish (Ictalurus punctatus) memperlihatkan pertumbuhan optimum dengan kadar protein 35 %, sedangkan pada suhu 25 oC membutuhkan protein 40%. (Musida, 2007).
Proses metabolisme akan meningkat dua kali lipat untuk setiap kenaikan suhu sebesar 10 oC, dan apabila laju metabolismenya meningkat maka kebutuhan akan oksigen juga akan meningkat pula. Dalam kisaran dimana proses-proses kehidupan berlangsung, metabolisme tergantung pada suhu. Kebanyakan organisme laut telah mengalami adaptasi untuk hidup dan berkembang baik dalam kisaran total antar 0 - 40 oC, karena sebagian besar organisme laut bersifat polikiometrik dan suhu air laut bervariasi, maka penyebarannya mengikuti perbedaan suhu lautan secara geografik (Nybakken, 1992).











III. METODE PRAKTIKUM
A. Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Rabu Tanggal 1 April 2009 pada pukul 10.00-12.00 WITA. Bertempat di Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo Kendari.
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada praktikum ini dapat dilihat pada Tabel berikut:
Tabel 6. Alat Beserta Kegunaannya Pada Praktikum Laju Metabolisme
No Nama Alat Fungsi
1 Toples besar 1 buah Untuk tempat menyimpan ikan dan air tawar
2 Thermometer biasa Untuk mengukur suhu air.
3 Kertas label Untuk menandai masing-masing perlakuan.
4 Baskom Untuk menyimpan air panas dan toples
5 Alat tulis menulis Untuk mencatat hasil pangamatan.
6 Stopwatch Untuk menghitung waktu.
7 Gelas Aqua Untuk menyimpan jentik nyamuk
8 Thermos air Untuk menyimpan air panas

Bahan yang digunakan pada praktikum aklimatisasi ini yaitu Ikan Lele Dumbo (Clarias glariepinus) digunakan sebagai hewan uji, air tawar sebagai media uji, air panas digunakan untuk mengukur laju metabolisme pada suhu tinggi/menaikkan suhu air, es batu digunakan untuk mengukur laju metabolisme pada suhu rendah/menurunkan suhu air.
C. Prosedur Kerja
Prosedur karja yang dilakukan dalam praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Menyiapkan 2 buah wadah (toples) yang diisi media yang suhunya sama dengan media asal hewan uji
2. Memasukkan hewan uji.
3. Melakukan penurunan atau penaikkan suhu media tersebut dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit es batu untuk penurunan suhu, dan dengan menambahkan air hangat untuk penaikkan suhu, dan mengamati tingkah laku hewan uji.
4. Menghentikan penambahan bila hewan uji sudah pingsan, dan mencatat suhu media.
Untuk Zooplankton
1. Mencari jentik nyamuk beserta media asalnya
2. Mengamati dan menghitung pergerakannya selama 3 X 2 menit
3. Menaikkan suhu media dengan cara menambahkan sedikit air hangat ke dalam media uji
4. Hitung pergerakannya/tingkah lakunya selama 3 X 2 menit





IV. HASIL DAN PEMBAHASAN



A. Hasil Pengamatan
Hasil pengamatan pada praktikum ini dapat dilihat pada Tabel berikut:
Tabel 7. Laju Metabolisme Pada Suhu Tinggi
Jenis Organisme Lama Perlakuan Suhu Tingkah Laku
Ikan Lele Dumbo
(Clarias gariepinus)
28 °C Diam
Banyak bergerak
Naik ke permukaan mengambil oksigen
5 Menit 33 °C Aktif bergerak
Naik kepermukaan
Tubuh pucat
Bukaan operculum cepat
5 Menit 41 °C Tubuh membengkok
Tubuh sangat pucat
5 Menit 45 °C Mati

Tabel 8. Laju Metabolisme Pada Suhu Rendah
Jenis Organisme Lama Perlakuan Suhu Tingkah Laku
Ikan Lele Dumbo
(Clarias gariepinus)
28 °C Diam
Banyak bergerak
Naik ke permukaan mengambil
oksigen
5 Menit 25 °C Bukaan operculum lambat
Diam
5 Menit 20 °C Operculum lambat
Kulit berubah memucat
Sungutnya melemah
Ikan kebanyakan diam
5 Menit 17 °C Meloncat-loncat kepermukaan
Sungut melemah
kulit pucat


Tabel 9. Pengamatan Laju metabolisme Pada Zooplankton
Jenis Organisme Lama Perlakuan Suhu Keterangan
Jentik nyamuk
6 menit 28 °C 100 kali pergerakan
6 menit 30 °C 107 kali pergerakan
6 menit 47 °C Organisme mati


B. Pembahasan

Metabolisme adalah semua reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh makhluk hidup, terdiri atas anabolisme dan katabolisme. Laju metabolisme dipengaruhi oleh faktor biotik seperti suhu, salinitas, oksigen, karbondioksida, amoniak, pH, fotoperiode, musim dan tekanan; dan abiotik seperti aktivitas, berat, kelamin, umur, scooling, stress, puasa dan ratio makan. Suhu air yang normal bagi organisme perairan adalah 20-25oC.
Pada pengamatan laju metabolisme terhadap Ikan Lele Dumbo (C. gariepinus) yang dinaikkan konsentrasi suhu media hidupnya dari 28 oC, menjadi 33 oC, tampak bahwa pada 5 menit pertama dari penaikkan suhu, Ikan Lele Dumbo (C. gariepinus) melakukan adaptasi terhadap lingkungan baru dengan banyak menghirup oksigen, yang ditandai dengan melihat operculum yang terbuka cepat. Hal tersebut merupakan hal yang wajar karena iakn membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang baru ditempatinya. Pada ikan, oksigen di udara dapat diserap secara langsung ke dalam aliran darahnya melalui ingsang. Namun pada suhu tinggi kelarutan oksigen di dalam air akan cenderung menurun, dan pada kondisi seperti itu Ikan Lele Dumbo (C. gariepinus) akan berusaha mengimbangi situasi tersebut dan cenderung mempertahankan hidupnya sehingga mengakibatkan peningkatan laju metabolismenya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Irianto (2005), yang menyatakan bahwa pada suhu perairan yang tinggi aktivitas metabolisme akan meningkat. dan kondisi tersebut berdampak pada konsumsi oksigen organisme akan bertambah sedangkan kelarutan oksigen dalam air menurun dengan bertambahnya suhu sehingga menyebabkan kematian organisme.
Dalam pengamatan laju metabolisme pada suhu tinggi ini kematian ikan mas terjadi pada 5 menit ketiga, dengan peningkatan suhu hingga 45 oC. Hal ini disebabkan karena fluktuasi suhu yang meningkat drastis dalam waktu yang singkat, hingga menciptakan situasi ekstrim bagi Ikan Lele Dumbo (C. gariepinus). Hal ini didukung dengan pernyataan Musida (2007), bahwa berdasarkan hukum Van’t Hoff, kenaikan suhu sebesar 10 °C akan menyebabkan kecepatan reaksi metabolisme meningkat 2-3 kali lipat dibandingkan pada kondisi normal, bahkan perubahan suhu yang terjadi secara mendadak dapat menyebabkan ikan mengalami stress bahkan kematian.
Pada pengamatan laju metabolisme pada Ikan Lele Dumbo (C. gariepinus), diturunkan konsentrasi suhu media hidupnya dari 25 oC, menjadi 20 oC , tampak bahwa pada 5 menit pertama dari penurunan suhu, Ikan Lele Dumbo (C. gariepinus) melakukan adaptasi terhadap lingkungan baru dengan banyak menghirup oksigen untuk pernapasannya, yang terlihat dari gerakan operculumnya yang melakukan proses respirasi dengan cepat.
Pada penurunan suhu hingga 20 oC di 5 menit kedua, Ikan Lele Dumbo (C. gariepinus) mulai aktif bergerak, karena suhu ini masih termasuk dalam kisaran toleransi normal bagi organisme perairan. Sesuai dengan penyataan Fujaya (2004), bahwa Suhu air yang normal bagi organisme perairan adalah 20-25oC. Kemudian pada penurunan suhu hingga 17 oC dan ikan mulai aktif bergerak di permukaan, Pergerakan ikan melambat, bukaan operculum melambat dan cenderung berada di dasar medium. Ini menandakan bahwa pada suhu rendah, Ikan Lele Dumbo (C. gariepinus)masih dapat melakukan proses metabolisme karena pada suhu rendah, kelarutan oksigen lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nybakken (1992), bahwa pada dasarnya suhu rendah memungkinkan air mengandung oksigen lebih tinggi, tetapi suhu rendah menyebabkan stres pernapasan pada ikan berupa menurunnya laju pernapasan dan denyut jantung. Sehingga dapat diamati bahwa laju metabolisme Ikan Lele Dumbo (C. gariepinus) berjalan lambat yang ditandai dengan melambatnya gerakan operculum dan prilaku tersebut dapat berlanjut ditandai dengan pingsannya ikan akibat kekurangan oksigen.
Pada pengamatan laju metabolisme dengan menggunakan zooplankton dapat dilihat pergerakan zooplakton yang masih berjalan normal ketika media hidupnya belum mengalami penaikkan suhu di mana pergerakannya sebanyak 100 X pada suhu kamar yakni 28 °C, namun ketikan media hidupnya tambahkan air panas hingga suhunya mencapai 30 °C pergerakan dari zooplankton tersebut bertambah menjadi 107 kali, hal tersebut merupakan respon dari organisme zooplankton yang berusaha mengimbangi penaikkan suhu yang terjadi pada media hidupnya sehingga mengakibatkan meningkatnya laju metabolisme di dalam tubuh organisme tersebut. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Irianto (2005), yang menyatakan bahwa pada suhu perairan yang tinggi aktivitas metabolisme akan meningkat, dan pada kondisi seperti itu konsumsi oksigen organisme akan bertambah sedangkan kelarutan oksigen dalam air menurun dengan bertambahnya suhu sehingga menyebabkan kematian organisme. Dan hal tersebut terbukti ketika suhu media hidup dari organisme zooplanton dinaikkan hingga 47 oC, dimana organisme zooplaknton mengalami kematian.



.

















V. PENUTUP


A. Kesimpulan
Dari hasil pengamatan dan pembahasan, simpulan yang dapat ditarik dari praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Perubahan suhu dapat mempengaruhi laju metabolisme Ikan Lele Dumbo (C. gariepinus)ikan mas.
2. Pada suhu perairan yang tinggi aktivitas metabolisme akan meningkat dan kondisi tersebut berdampak pada konsumsi oksigen organisme akan bertambah sedangkan kelarutan oksigen dalam air menurun dengan bertambahnya suhu sehingga menyebabkan kematian organisme.
3. Pada dasarnya suhu rendah memungkinkan air mengandung oksigen lebih tinggi, tetapi suhu rendah menyebabkan stres pernapasan pada ikan berupa menurunnya laju pernapasan dan denyut jantung.
B. Saran
Saran praktikan dalam praktikum ini adalah agar dalam pengamatan laju metabolisme dengan peningkatan dan penurunan suhu, sebaiknya prosedur kerja yang dilakukan kalau bisa harus sesuai dengan apa yang tertulis di dalam buku penuntun, kalaupun hal tersebut tidak dilakukan karena alasan keterbatasan alat praktek semestinya hal tersebut sudah dipikirkan sebelumnya.


DAFTAR PUSTAKA
Effendi Hefni, 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta.

Fujaya Y., 2004. Fisiologi Ikan. PT. Rineka Cipta. Jakarta.
Gillett, J. D., 1972. The Mosquito: Its Life, Activities and Impact on Human Affairs. Doubleday, Garden City, NY, 358 p. ISBN 0-385-01179-2
Irianto A., 2005. Patologi Ikan Teleostey. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Lim, Kelvin K. P., Ng, H. H., 1999. Clarias batu, a New Species of Catfish (Teleostei: Clariidae) from Pulau Tioman, Peninsular Malaysia (PDF). The Raffles Bulletin of Zoology (6): 157-167.

Musida, 2007. Taxonomi. Diakses pada Tanggal 30 Maret 2009. Dari http://musida.web.id/taxonomy/term/116/all.

Nybakken. 1992. Biologi Laut. Gramedia. Jakarta.

Praweda, 2007. Biologi. Diakses pada Tanggal 30 Maret 2009. Dari http://ftp.ui.edu/bebas/v12/sponsor/SponsorPendamping/Praweda/Biologi/Biologi%203.htm
Spielman, A., and M. D'Antonio., 2001. Mosquito: A Natural History of Our Most Persistent and Deadly Foe. Hyperion Press, New York, 256 p. ISBN 0-7868-6781-7
Sudarto, Teugels, Guy G.,Pouyaud, Laurent 2004. Description of a New Clariid Catfish, Clarias pseudonieuhofii from West Borneo (Siluriformes: Clariidae (PDF). Zoological Studies 43 (1): 8-19.

Tang. U.M. dan R. Affandi. 2001. Fisiologi Hewan Air. Institut Pertanian Bogor. Bogor.