Sabtu, 27 Maret 2010

Makalah Lamun

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dari pada daratan. Oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan berbagai biota laut baik flora maupun fauna. Demikian luas serta keragaman jasad–jasad hidup di dalam yang kesemuanya membentuk dinamika kehidupan di laut yang saling berkesinambungan (Nybakken, 1988).
Pada tahun belakangan ini, perhatian terhadap biota laut semakin meningkat dengan munculnya kesadaran dan minat setiap lapisan masyarakat akan pentingnya lautan. Menurut Bengen (2001) laut sebagai penyedia sumber daya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan, tambang mineral dan energi, media komunikasi maupun kawasan rekreasi atau pariwisata. Karena itu wilayah pesisir dan lautan merupakan tumpuan harapan manusia dalam pemenuhan kebutuhan di masa mendatang.
Salah satu sumber daya laut yang cukup potensial untuk dapat dimanfaatkan adalah lamun, dimana secara ekologis lamun mempunyai beberapa fungsi penting di daerah pesisir. Lamun merupakan produktifitas primer di perairan dangkal di seluruh dunia dan merupakan habitat serta sumber makanan penting bagi banyak organisme.
Lamun merupakan bagian dari beberapa ekosistem dari wilayah pesisir dan lautan perlu dilestarikan karena memberikan kontribusi pada peningkatan hasil perikanan dan pada sektor lainya seperti pariwisata. Oleh karena itu perlu mendapatkan perhatian khusus seperti halnya ekosistem lainnya dalam wilayah pesisir untuk mempertahankan kelestariannya melalui pengelolaan secara terpadu.
Mengingat pentingnya peranan lamun bagi ekosistem di laut dan semakin besarnya tekanan ganguan baik oleh aktivitas manusia maupun akibat alami, maka perlu diupayakan pengelolaan ekosistem padang lamun yang baik di Indonesia khususnya di Sulawesi Tenggara.
Melalui makalah ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang ekosistem padang lamun serta permasalahan yang terjadi di dalamnya.
B. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari penulisan makalah ini antara lain:
1. Memberikan gambaran tentang definisi, fungsi, jenis, potensi dan zonasi padang lamun.
2. Menjelaskan permasalahan yang terjadi pada ekosistem padang lamun khususnya di wilayah Sulawesi Tenggara serta pedoman pengelolaan padang lamun.
Manfaat dari penulisan makalah ini ialah:
1. Mahasiswa dapat memahami fungsi ekosistem padang lamun.
2. Mahasiswa dapat mengetahui permasalahan dan pengelolaan ekosistem padang lamun dan contoh pengelolaan ekosistem padang lamun yang baik.
C. Ruang Lingkup
Makalah ini berisikan tentang definisi, fungsi, jenis, potensi dan zonasi lamun serta permasalahan dan pedoman pengelolaan ekosistem padang lamun.















BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Lamun didefinisikan sebagai tumbuhan berbunga (angiospermae) yang mampu beradaptasi secara penuh di perairan yang salinitasnya cukup tinggi atau hidup terbenam di dalam air dan memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati. Beberapa ahli juga mendefinisikan lamun (seagrass) sebagai tumbuhan air berbunga, hidup di dalam air laut, berpembuluh, berdaun, berimpang, berakar, serta berbiak dengan biji dan tunas.

Gambar 1. Morfologi lamun
Karena pola hidup lamun sering berupa hamparan maka dikenal juga istilah padang lamun (seagrass bed) yaitu hamparan vegetasi lamun yang menutup suatu area pesisir/laut dangkal, terbentuk dari satu jenis atau lebih dengan kerapatan padat atau jarang. Sedangkan sistem (organisasi) ekologi padang lamun yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik disebut ekosistem padang lamun (seagrass ecosystem).
Ekosistem padang lamun memiliki kondisi ekologis yang sangat khusus dan berbeda dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang. Ciri-ciri ekologis padang lamun antara lain adalah :
1. Terdapat di perairan pantai yang landai, di dataran lumpur/pasir.
2. Pada batas terendah daerah pasang surut dekat hutan bakau atau di dataran terumbu karang.
3. Mampu hidup sampai kedalaman 30 meter, di perairan tenang dan terlindung.
4. Sangat tergantung pada cahaya matahari yang masuk ke perairan.
5. Mampu melakukan proses metabolisme secara optimal jika keseluruhan tubuhnya terbenam air termasuk daur generatif.
6. Mampu hidup di media air asin.
7. Mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik.
B. Fungsi
Ekosistem padang lamun merupakan salah satu ekosistem di laut dangkal yang paling produktif. Di samping itu ekosistem lamun mempunyai peranan penting dalam menunjang kehidupan dan perkembangan jasad hidup di laut dangkal, menurut hasil penelitian diketahui bahwa peranan lamun di lingkungan perairan laut dangkal sebagai berikut:
1. Fungsi ekologi
a. Sebagai produsen primer
Lamun mempunyai tingkat produktifitas primer tertinggi bila dibandingkan dengan ekosistem lainnya yang ada di laut dangkal seperti ekosistem terumbu karang (Thayer et al. 1975).
b. Sebagai habitat biota
Lamun memberikan tempat perlindungan dan tempat menempel berbagai organisme epifit. Disamping itu, padang lamun (seagrass beds) dapat juga sebagai daerah asuhan, padang pengembalaan dan makan dari berbagai jenis ikan herbivora dan ikan–ikan karang (coral fishes) (Kikuchi & Peres, 1977).
c. Sebagai penangkap sedimen
Daun lamun yang lebat akan memperlambat air yang disebabkan oleh arus dan ombak, sehingga perairan di sekitarnya menjadi tenang. Disamping itu, rimpang dan akar lamun dapat menahan dan mengikat sedimen, sehingga dapat menguatkan dan menstabilkan dasar permukaaan. Jadi padang lamun yang berfungsi sebagai penangkap sedimen dapat mencegah erosi ( Gingsburg & Lowestan 1958).
d. Penyaring limbah
Lamun dapat mengakumulasi limbah yang masuk ke perairan.
2. Fungsi ekonomi
a. Digunakan untuk kompos dan pupuk,
b. Cerutu dan mainan anak-anak,
c. Dianyam menjadi keranjang,
d. Tumpukan untuk pematang,
e. Mengisi kasur,
f. Beberapa jenis lamun yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan seperti samo-samo (Enhalus acroides),
g. Dibuat jaring ikan,
h. Bahan untuk pabrik kertas,
i. Obat-obatan,
j. Wisata bahari,
k. Areal marikultur (ikan, teripang, kerang tiram dan rumput laut),
l. Tempat pemancingan.
C. Jenis dan Potensi
Lamun dapat ditemukan di seluruh dunia kecuali di daerah kutub. Lebih dari 52 jenis lamun yang telah ditemukan. Dari 20 jenis lamun yang dijumpai di perairan Asia Tenggara, 12 di antaranya dijumpai di Indonesia. Dari beberapa jenis lamun, Thalasiadendron ciliatum mempunyai sebaran yang terbatas, sedangkan Halophila spinulosa tercatat di daerah Riau, Anyer, Baluran, Irian Jaya, Belitung dan Lombok. Begitu pula Halophila decipiens baru ditemukan di Teluk Jakarta, Teluk Moti-Moti dan Kepulaun Aru (Den Hartog, 1970; Azkab, 1999; Bengen 2001). Penyebaran padang lamun di Indonesia cukup luas, mencakup hampir seluruh perairan Nusantara yakni Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Irian Jaya. Dari seluruh jenis, Thalassia hemprichii merupakan yang paling dominan di Indonesia.

Gambar 2. Peta sebaran lamun di Indonesia (Sumber: KLH, 2008; Dipetakan kembali dari Peta Sebaran Terumbu Karang Coremap 2006)
Dari hasil penelitian P20 LIPI pada tahun 2007, sebaran lamun di Indonesia berdasarkan spesies dapat dilihat pada gambar-gambar berikut ini:



Gambar 3. Sebaran Ekosistem Lamun di Indonesia (Sumber: Tri Edi, P2O LIPI, 2007)
D. Zonasi
Zonasi lamun secara vertikal sebagai berikut:
1. Zona intertidal, dicirikan oleh tumbuhan pionir yang didominasi oleh Halophila ovalis, Cymodocea rotundata dan Holodule pinifolia.
2. Zona intertidal bawah, didominasi oleh Thalassodendron ciliatum.
Komunitas lamun biasanya ada dalam area yang luas dan rapat. Secara umum komunitas lamun dibagi menjadi 3 asosiasi spesies sehingga membentuk suatu zonasi lamun (Brouns dan Heijs, 1991), yaitu:
1. Padang lamun monospesifik (monospesifik seagrass beds)
Hanya terdiri dari 1 spesies saja. Akan tetapi keberadaannya hanya bersifat temporal dan biasanya terjadi pada phase pertengahan sebelum menjadi komunitas yang stabil (padang lamun campuran).
2. Asosiasi 2 atau 3 spesies
Ini merupakan komunitas lamun yang terdiri dari 2 sampai 3 spesies saja. Dan lebih sering dijumpai dibandingkan padang lamun monospesifik.
3. Padang lamun campuran (mixed seagrass beds)
Padang lamun campuran umumnya terdiri dari sedikitnya 4 dari 7 spesies berikut: Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides, Halodule uninervis, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, dan Thalassia hemprichii. Tetapi padang lamun campuran ini, dalam kerangka struktur komunitasnya, selalu terdapat asosiasi spesies Enhalus acoroides dengan Thalassia hemprichii (sebagai spesies lamun yang dominan), dengan kemelimpahan lebih dibanding spesies lamun yang lain
E. Permasalahan yang Terjadi di Ekosistem Padang Lamun
Ekosistem lamun sudah banyak terancam termasuk di Indonesia baik secara alami maupun oleh aktivitas manusia. Besarnya pengaruh terhadap integritas sumberdaya, meskipun secara garis besar tidak diketahui, namun dapat dipandang di luar batas kesinambungan biologi. Perikanan laut yang meyediakan lebih dari 60% protein hewani yang dibutuhkan dalam menu makanan masyarakat pantai, sebagian tergantung pada ekosistem lamun untuk produktivitas dan pemeliharaanya. Selain itu kerusakan padang lamun oleh manusia akibat pemarkiran perahu yang tidak terkontrol (Sangaji, 1994).
Ancaman-ancaman alami terhadap ekosistem lamun berupa interaksi populasi dan komunitas (pemangsa dan persaingan), pergerakan sedimen dan kemungkinan hama dan penyakit, vertebrata pemangsa lamun seperti dugong. Di antara hewan invertebrata, bulu babi adalah pemakan lamun yang utama. Meskipun dampak dari pemakan ini hanya setempat, tetapi jika terjadi ledakan populasi pemakan tersebut akan terjadi kerusakan berat. Gerakan pasir juga mempengaruhi sebaran lamun. Bila air menjadi keruh karena sedimen, lamun akan bergeser ke tempat yang lebih dalam yang tidak memungkinkan untuk dapat bertahan hidup (Sangaji, 1994).
Di kawasan pantai, manusia melakukan pengerukan dan pengurugan demi pembangunan pemukiman pantai, indusri, dan saluran navigasi. Hal ini mengakibatkan padang lamun rusak total. Di samping itu, terdapat dampak sekunder pada perairan laut yaitu meningkatnya kekeruhan air, dan terlapisnya insang hewan air oleh lumpur dan tanah hasil pengerukan. Hewan-hewan air tersiksa dan akhirnya mati. Ancaman juga datang dari pencemaran limbah industri, terutama logam berat dan senyawa organoklorin. Dua jenis bahan berbahaya ini mengakibatkan terjadinya akumulasi (penumpukan kandungan) logam berat padang lamun melalui proses yang disebut magnifikasi biologis. Persis seperti proses penumpukan kandungan merkuri yang menimpa kerang-kerangan di Teluk Jakarta.
Selain itu, kebiasaan manusia yang membuang sampah sembarangan ke laut mengakibatkan turunnya kandungan oksigen terlarut di kawasan padang lamun, serta dapat menimbulkan eutrofikasi (peningkatan kesuburan plankton). Hal ini bisa memancing meledaknya pertumbuhan perifiton, sejenis organisme yang hidup menempel di organisme lain. Perifiton yang banyak menempel membuat daun lamun kesulitan menyerap sinar matahari untuk proses fotosintesisnya. Kejadian serupa terjadi jika terjadi pencemaran minyak yang melapisi permukaan daun lamun.
Ada pula pencemaran limbah pertanian, terutama pestisida yang mematikan hewan-hewan di padang lamun. Pupuk yang masuk ke perairan laut di mana padang lamun terbentang juga memancing timbulnya eutrofikasi.
Di tempat hilangnya padang lamun, perubahan yang dapat diperkirakan menurut Fortes (1989), yaitu:
1. Reduksi detritus dari daun lamun sebagai konsekuensi perubahan dalam jaring-jaring makanan di daerah pantai dan komunitas ikan.
2. Perubahan dalam produsen primer yang dominan dari yang bersifat bentik yang bersifat planktonik.
3. Perubahan dalam morfologi pantai sebagai akibat hilangnya sifat-sifat pengikat lamun.
4. Hilangnya struktural dan biologi dan digantikan oleh pasir yang gundul.
Permasalahan utama yang mempengaruhi ekosistem padang lamun di seluruh dunia adalah akibat pengerukan dan penimbunan yang terus meluas dan pencemaran air termasuk pembuangan limbah garam dari kegiatan desalinasi dan fasilitas-fasilitas produksi minyak, pemasukan pencemaran di sekitar fasilitas industri serta limbah air panas dari pembangkit tenaga listrik. Kehilangan padang lamun diindikasikan oleh hilangnya biota laut terutama akibat hilangnya habitat. Di berbagai daerah, hilangnya komunitas padang lamun ini hanya dicatat oleh nelayan setempat karena tidak seperti mangrove dan terumbu karang, komunitas padang lamun tidak tampak nyata.
Banyak kegiatan atau proses dari alam maupun aktivitas manusia yang mengancam kelangsungan hidup ekosistem lamun seperti berikut:
Tabel 1. Dampak kegiatan manusia pada ekosistem padang lamun (Bengen, 2001)
Kegiatan Dampak Potensial
1. Pengerukan dan pengurugan yang berkaitan dengan pembangunan areal estate pinggir laut, pelabuhan, industri, dan saluran navigasi.


2. Pencemaran limbah industri terutama logam berat, dan senyawa organolokrin.

3. Pembuangan sampah organik







4. Pencemaran limbah pertanian





5. Pencemaran minyak - Perusakan total padang lamun.
- Perusakan habitat di lokasi pembuangan hasil pengerukan.
- Dampak sekunder pada perairan dengan meningkatnya kekeruhan air, dan terlapisnya insan hewan air.

- Terjadinya akumulasi logam berat padang lamun melalui proses biological magnification.

- Penurunan kandungan oksigen terlarut, mengganggu lamun dan hewan air.
- Dapat tmerjadi eutrofikasi yang engakibatkan blooming perifiton yang menempel di daun lamun, dan juga meningkatkan kekeruhan yang dapat menghalangi cahaya matahari.

- Pencemaran pestisida dapat mematikan hewan yang berasosiasi dengan padang lamun.
- Pencemar pupuk dapat mengakibatkan eutrofikasi.

- Lapisamn minyak pada daun lamun dapat menghalangi proses fotosintesis

Salah satu contoh kasus kerusakan ekosistem padang lamun yang terjadi di Sulawesi Tenggara adalah di Pulau Bungkutoko Kecamatan Abeli Kota Kendari, Sulawesi Tenggara.














Gambar 4. Peta lokasi Pulau Bungkutoko
Kerusakan ekosistem padang lamun di daerah ini terjadi akibat adanya penimbunan untuk pembangunan dermaga multipurpose pelabuhan Kendari seperti yang terlihat pada gambar-gambar berikut ini:


Gambar 5. Proses pembangunan dermaga


Gambar 6. Dampak akibat pembangunan dermaga
Menurut Fortes (1989) rekolonialisasi ekosistem padang lamun dari kerusakan yang telah terjadi membutuhkan waktu antara 5-15 tahun dan biaya yang dibutuhkan dalam mengembalikan fungsi ekosistem padang lamun di daerah tropis berkisar 22800-684.000 US $/ha. Oleh karena itu aktivitas pembangunan di wilayah pesisir hendaknya dapat meminimalkan dampak negatif melalui pengkajian yang mendalam pada tiga aspek yang tekait, yaitu aspek kelestarian lingkungan, aspek ekonomi dan aspek sosial.
Fauzi (2000) menyatakan bahwa dalam menilai dampak dari suatu akivitas masyarakat terhadap kerusakan lingkungan seperti ekosistem padang lamun dapat digunakan dengan metode tehnik evaluasi ekonomi yang dikenal dengan istilah Environmental Impact Assesment (EIA). Metode ini telah dijadikam istrumen universal dalam mengevaluasi dampak lingkungan akibat aktivitas pembangunan, di samping itu metode evaluasi ekonomi dapat menjembatani kepentingan ekonomi masyarakat dan kebutuhan ekologi dari sumber daya alam.
Padang lamun mungkin kurang populer dibandingkan dengan jenis ekosistem laut lainnya. Tetapi dengan mengetahui peran dan kegunaannya bagi alam dan manusia, kita bisa memahami betapa mengerikannya jika padang lamun dirusak dan berkurang habitat hidupnya.
F. Pedoman Pengelolaan Ekosistem Padang Lamun
Untuk mengatasi masalah-masalah perusakan dan untuk menjaga serta melindungi sumberdaya alam dan ekosistem padang lamun secara berkelanjutan, diperlukan suatu pengelolaan yang tepat. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah: (1) penyuluhan akan pentingnya peranan ekosistem padang lamun di lingkungan pesisir, (2) menyadarkan masyarakat agar mengambil peran yang lebih besar dalam menjaga dan mengelola sumberdaya padang lamun, (3) pengaturan penggunaan alat tangkap yang sudah terbukti merusak lingkungan ekosistem padang lamun seperti potasium sianida, sabit dan gareng diganti dengan alat tangkap yang tidak merusak lingkungan (ramah lingkungan) seperti pancing, dan (4) perlunya pembuatan tempat penampungan limbah dan sampah organik.
Pedoman pengelolaan padang lamun:
1. Pengerukan dan penimbunan seharusnya menghindari lokasi yang didominasi oleh padang lamun, sebaiknya dijaga agar tidak terjadi pengaliran endapan pada lokasi padang lamun. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti memasang penghalang Lumpur atau dengan strategi pengerukan yang menjamin adanya mekanisme yang membuat sirkulasi air dan pasang surut dapat membewa endapan untuk menjauhi daerah padang lamun.
2. Usulan pembangunan di wilayah pesisir (seperti pelabuhan, dermaga/jetty) yang mengubah pola sirkulasi air seharusnya didesain untuk menghindari dan meminimalkan erosi atau penimbunan di daerah sekitar padang lamun. Struktur desain seharusnya didasarkan pada keadaan lokal yang spesifik.
3. Prosedur pembuangan limbah cair seharusnya diperbaharui dan dimodifikasi sesuai kebutuhan untuk mencegah limbah yang merusak masuk ke dalam padang lamun. Limbah tersebut seperti limbah industri, limbah air panas, limbah garam, air buangan kapal dan limpasan air. Pada umumnya solusi alternatif tersebut diantaranya termasuk pemilihan lokasi yang berbeda untuk lokasi pembuangan seperti pemilihan lokasi pipa pembuangn.
4. Penangkapan ikan dengan “trawl” dan kegiatan penangkapan lainnya yang merusak seharusnya dimodifikasi untuk meminimalkan pengaruh buruk terhadap padang lamun selama operasi penangkapan.
5. Skema-skema pengalihan aliran air yang dapat merubah tingkat salinitas alamiah harus dipertimbangkan akibat terhadap komunitas padang lamun dan biota-biota yang berasosiasi dengannya. Pengaturan yang tepat terhadap jadwal pelepasan air dapat menjaga tingkat salinitas dalam kisaran yang diinginkan.
6. Lakukan tindakan untuk mencegah tumpahan minyak untuk mencemari komunitas padang lamun. Hal ini dapat dicapai dengan melakukan pengukuran, program monitoring dan rencana untuk menanggulangi kemungkinan terjadi tumpahan minyak.
7. Inventarisasi, identifikasi dan pemetaan sumberdaya padang lamun sebelum berbagai jenis proyek dan aktivitas dilakukan di lokasi tersebut.
8. Rekonstruksi padang lamun di perairan dekat tempat yang sebelumnya ada padang lamun, atau membangun padang lamun baru di lokasi yang ada padang lamunnya untuk mengganti lamun alami di suatu tempat.
Pengelolaan ekosistem padang lamun di kawasan pesisir merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan agar dapat meminimalkan dampak negatif terhadap kerusakan sumberdaya ekosistem padang lamun sehingga kemampuan daya dukung lingkungan (environmental carrying capacity) ekosistem padang lamun di kawasan pesisir tetap lestari. Dengan memperhatikan hal-hal di atas jelas diperlukan usaha peningkatan kesadaran dan peran serta masyarakat pengguna dan pemanfaat ekosistem padang lamun. Hal serupa tidak kalah pentingnya dilakukan terhadap para pengambil keputusan.
Pengelolaan Berwawasan Lingkungan
Dalam perencanaan pembangunan pada suatu sistem ekologi pesisir dan laut yang berimplikasi pada perencanaan pemanfaatan sumberdaya alam, perlu diperhatikan kaidah-kaidah ekologis yang berlaku untuk mengurangi akibat-akibat negatif yang merugikan bagi kelangsungan pembangunan itu sendiri secara menyeluruh. Perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut perlu dipertimbangkan secara cermat dan terpadu dalam setiap perencanaan pembangunan, agar dapat dicapai suatu pengembangan lingkungan hidup di pesisir dan laut dalam lingkungan pembangunan.
Pengelolaan Berbasis Masyarakat
Menurut definisi, pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat adalah suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, di mana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu daerah terletak atau berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut (Carter, 1996). Pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat (community-base management) dapat didefinisikan sebagai proses pemberian wewenang, tanggung jawab, dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya lautnya, dengan terlebih dahulu mendefinisikan kebutuhan, keinginan, dan tujuan serta aspirasinya (Nikijuluw, 2002; Dahuri, 2003).
Pengelolaan berbasis masyarakat yang dimaksudkan di sini adalah co-management (pengelolaan bersama), yakni pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat bersama-sama dengan pemerintah setempat, yang bertujuan untuk melibatkan masyarakat lokal secara aktif dalam kegiatan perencanaan dan pelaksanaan suatu pengelolaan. Pengelolaan berbasis masyarakat berawal dari pemahaman bahwa masyarakat mempunyai kemampuan untuk memperbaiki kualitas hidupnya sendiri dan mampu mengelola sumberdaya mereka dengan baik, sehingga yang dibutuhkan hanyalah dukungan untuk mengelola dan menyadarkan masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhannya. Kegiatan pengelolaan berbasis masyarakat saat ini menunjukkan bahwa masyarakat masih membutuhkan dukungan dan persetujuan dari pemerintah setempat dalam hal pengambilan keputusan. Demikian pula dalam pelaksanaan suatu kegiatan, dukungan pemerintah masih memegang peranan penting dalam memberikan pengarahan, bantuan teknis, dan merestui kegiatan yang sudah disepakati bersama. Sebaliknya, bila tidak ada dukungan partisipasi masyarakat terhadap program yang sudah direncanakan oleh pemerintah, maka hasilnya tidak akan optimal. Oleh karena itu, keterlibatan masyarakat dan pemerintah setempat secara bersama-sama sangatlah penting sejak awal kegiatan.
Pengelolaan berbasis masyarakat sudah merupakan suatu pendekatan yang banyak dipakai di dalam program-program pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir terpadu di berbagai negara di dunia ini, khususnya di negara-negara berkembang. Pendekatan ini secara luas digunakan di wilayah Asia Pasifik seperti di negara-negara Filipina dan Pasifik Selatan (Tulungen, 2001). Di negara-negara dimana sistem pemerintahannya desentralisasi dan otonomi daerah, pendekatan berbasis masyarakat ini dapat merupakan pendekatan yang lebih tepat guna, lebih mudah dan dalam jangka panjang dapat terbukti lebih efisien dan efektif dalam segala hal.
Konsep pengelolaan yang mampu menampung banyak kepentingan, baik kepentingan masyarakat maupun kepentingan pengguna lainnya adalah konsep Cooperative Management (Pomeroy dan Williams, 1994). Dalam konsep Cooperative Management, ada dua pendekatan utama yaitu pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah (goverment centralized management) dan pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat (community based management). Dalam konsep ini masyarakat lokal merupakan partner penting bersama-sama dengan pemerintah dan stakeholders lainnya dalam pengelolaan sumberdaya alam di suatu kawasan. Masyarakat lokal merupakan salah satu kunci dari pengelolaan sumberdaya alam, sehingga praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam yang masih dilakukan oleh masyarakat lokal secara langsung menjadi bibit dari penerapan konsep tersebut. Tidak ada pengelolaan sumberdaya alam yang berhasil dengan baik tanpa mengikutsertakan masyarakat lokal sebagai pengguna dari sumberdaya alam tersebut.
Menurut Pomeroy dan Williams (1994) dan Tulungen (2001), kunci keberhasilan pengelolaan berbasis masyarakat mencakup: batas-batas wilayah yang jelas terdefinisi; kejelasan anggota; keterikatan dalam kelompok; manfaat lebih besar dari biaya; pengelolaan sederhana; legalisasi dari pengelolaan; kerjasama dan kepemimpinan dalam masyarakat; desentralisasi dan pendelegasian wewenang; koordinasi antar pemerintah dan masyarakat; pengetahuan, kemampuan dan kepedulian masyarakat; dan fasilisator (sumberdaya manusia, paham konsep, mampu memotivasi masyarakat, tinggal bersama, diterima oleh semua pihak). Sementara Dahuri (2003) mengatakan bahwa ada dua komponen penting keberhasilan pengelolaan berbasis masyarakat, yaitu: (1) konsensus yang jelas dari tiga pelaku utama, yaitu pemerintah, masyarakat pesisir, dan peneliti (sosial, ekonomi, dan sumberdaya), dan (2) pemahaman yang mendalam dari masing-masing pelaku utama akan peran dan tanggung jawabnya dalam mengimplementasikan program pengelolaan berbasis masyarakat.
Konsep pengelolaan berbasis masyarakat memiliki beberapa aspek positif (Carter, 1996), yaitu: (1) mampu mendorong timbulnya pemerataan dalam pemanfaatan sumberdaya alam, (2) mampu merefleksi kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik, (3) mampu meningkatkan efisiensi secara ekologis dan teknis, (4) responsif dan adaptif terhadap perubahan kondisi sosial dan lingkungan lokal, (5) mampu meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada, (6) mampu menumbuhkan stabilitas dan komitmen, dan (7) masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola secara berkelanjutan.
Pengelolaan ekosistem padang lamun pada dasarnya adalah suatu proses pengontrolan tindakan manusia agar pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan secara bijaksana dengan mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan. Apabila dilihat permasalahan pemanfaatan sumberdaya ekosistem padang lamun yang menyangkut berbagai sektor, maka pengelolaan sumberdaya padang lamun tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri, tetapi harus dilakukan secara terpadu oleh beberapa instansi terkait. Kegagalan pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun ini, pada umumnya disebabkan oleh masyarakat pesisir tidak pernah dilibatkan, mereka cenderung hanya dijadikan sebagai obyek dan tidak pernah sebagai subyek dalam program-program pembangunan di wilayahnya. Sebagai akibatnya mereka cenderung menjadi masa bodoh atau kesadaran dan partisipasi mereka terhadap permasalahan lingkungan di sekitarnya menjadi sangat rendah. Agar pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun ini tidak mengalami kegagalan, maka masyarakat pesisir harus dilibatkan.
Dalam pengelolaan ekosistem padang lamun berbasis masyarakat ini, yang dimaksud dengan masyarakat adalah semua komponen yang terlibat baik secara langsung maupun tak langsung dalam pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem padang lamun, diantaranya adalah masyarakat lokal, LSM, swasta, Perguruan Tinggi dan kalangan peneliti lainnya. Pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun berbasis masyarakt dapat diartikan sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada masyarakat dan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan aspek ekonomi dan ekologi. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya ekosistem padang lamun berbasis masyarakat, kedua komponen masyarakat dan pemerintah sama-sama diberdayakan, sehingga tidak ada ketimpangan dalam pelaksanaannya.
Pengelolaan berbasis masyarakat harus mampu memecahkan dua persoalan utama, yaitu: (1) masalah sumberdaya hayati (misalnya, tangkap lebih, penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, kerusakan ekosistem dan konflik antara nelayan tradisional dan industri perikanan modern), dan (2) masalah lingkungan yang mempengaruhi kesehatan sumberdaya hayati laut (misalnya, berkurangnya daerah padang lamun sebagai daerah pembesaran sumberdaya perikanan, penurunan kualitas air, pencemaran). Persoalan-persoalan tersebut dapat menurunkan sumberdaya hayati laut, yang pada akhirnya dapat menurunkan tingkat pendapatan masyarakat pesisir serta meningkatkan masalah-masalah sosial di wilayah pesisir. Oleh karena itu, pengelolaan berbasis masyarakat harus mampu mengidentifikasi masalah-masalah yang ada di masyarakat dan dapat memberikan alternatif-alternatif pemecahan masalah atau berupaya untuk mencari jawaban terhadap masalah utama lewat partisipasi aktif dan bermakna dari masyarakat wilayah pesisir (Tulungen et al., 2002; Dahuri, 2003). Hal ini tentunya sangat bergantung pada program aksi pemerintah, kerja keras para peneliti, baik di bidang sosial, ekonomi maupun sumberdaya, serta kesadaran dan keinginan masyarakat akan adanya perubahan ke arah yang lebih baik.
Pengelolaan Berkelanjutan
Pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan memiliki dimensi ekologi, ekonomi dan sosial. Dimensi ekologi lebih menekankan pada pentingnya upaya-upaya untuk mencegah terganggunya fungsi dasar ekosistem padang lamun sehingga tidak akan mengurangi fungsi layanan ekologi. Dimensi ekonomi menekankan bahwa pertumbuhan dan efisiensi dalam pemanfaatan sumberdaya alam harus diupayakan secara terus menerus. Dimensi Sosial mencakup isu-isu yang berkaitan dengan distribusi kekayaan/pemerataan secara adil serta penghapusan kemiskinan. Oleh karena itu tuntutan ke arah konservasi ekosistem padang lamun semakin besar karena meningkatnya ancaman terhadap kelestarian sumberdaya dan keanekaragaman hayatinya.
Pengembangan persepsi sosial masyarakat yang positif perlu terus dikembangkan yaitu untuk melahirkan perilaku masyarakat yang berorientasi pada pemanfaatan sumberdaya padang lamun yang berkelanjutan. Dalam hal ini, persepsi sosial masyarakat yang perlu dikembangkan adalah: (1) saling menghargai dan bertanggung jawab terhadap kehidupan masyarakat, (2) berorientasi pada peningkatan kualitas hidup, (3) menumbuhkan jiwa masyarakat yang peduli terhadap lingkungan, (4) merubah watak dan sikap individu maupun kelompok yang kurang baik, (5) menciptakan kebersamaan, (6) melestarikan nilai yang vital pada ekosistem padang lamun, (7) mengurangi kemunduran secara ekologis maupun ekonomi dari ekosistem padang lamun, dan (8) menjaga tetap dalam kapasitas kemampuan daya dukung yang maksimal.
Pengelolaan ekosistem padang lamun secara lestari dan berkelanjutan sangat penting artinya. Ekosistem padang lamun yang sangat produktif dapat mendukung kihidupan nelayan setempat. Jika habitat padang lamun dapat berfungsi secara optimal, maka produksi ikan padang lamun akan dapat dipanen secara berkesinambungan/ berkelanjutan dan memberi keuntungan secara sosial dan ekonomi bagi masyarakat setempat di seluruh Indonesia untuk masa kini dan masa yang akan datang sejalan dengan pembangunan nasional.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menjamin keberlanjutan dari pemanfaatan sumberdaya padang lamun adalah pemerataan (equeity), sociopolytical right, pendidikan, kesehatan dan teknologi. Dalam kondisi seperti konsep sustainability mengandung makna keterkaitan dengan konsep daya dukung (carrying capacity) yang dapat dijadikan ukuran tercapainya sustainability dari suatu aktivitas pembangunan. Konsep daya dukung dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) daya dukung biofisik, merupakan ukuran maksimum populasi yang dapat survival di bawah kendali suatu sumberdaya dan teknologi, dan (2) daya dukung sosial, merupakan jumlah penduduk yang dapat hidup layak di bawah kendali suatu sistem sosial.
Salah satu contoh pengelolaan lamun yang baik terdapat di Kepulauan Seribu. Lamun di Taman Nasional Kepulauan Seribu tumbuh dalam kelompok rumpun yang kecil-kecil dan tersebar tidak merata, namun kadang juga membentuk suatu padang yang luas dengan jenis homogen ataupun heterogen. Hal ini terkait dengan kondisi fisik substrat dasar perairan Kepulauan Seribu yang tidak stabil karena pengaruh arus dan gelombang. Dari 12 jenis lamun yang dapat ditemukan di perairan Indonesia, 7 jenis di antaranya tumbuh di kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, yaitu Thalassia hembrichii, Cymodoceae rotundata, Cymodoceae serrulata, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, dan Halodule uninervis. Dari 7 jenis tersebut, Thalassia hembrichii, Cymodocea rotundata dan Halodule uninervis merupakan jenis-jenis lamun yang dominan ditemukan di kawasan TNKpS terutama di pulau-pulau pemukiman.
Meskipun diketahui bahwa degradasi padang lamun cukup tinggi, tapi kegiatan penanaman dan pemulihan padang lamun di Kepulauan Seribu belum banyak dilakukan karena keberadaan lamun ini masih kurang bermanfaat langsung bagi masyarakat Kepulauan Seribu. Sampai saat ini, penanaman lamun yang dilakukan di Taman Nasional Kepulauan masih sebatas penanaman untuk penelitian dan atraksi wisata.
Penanaman lamun dalam Kegiatan Bulan Bhakti Menanam Mandiri TNKpS dilakukan di Pulau Pramuka dengan menggunakan metode TERFs. Frame yang digunakan berukuran 1 m x 1m sebanyak 4 unit frame. Jenis lamun yang ditanam adalah Thassia hembricii, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, dan Halodule uninervis. Dalam 1 unit frame berisikan 25 tunas lamun per jenis.


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga, hidup di dalam air laut, berpembuluh, berdaun, berimpang, berakar, serta berbiak dengan biji dan tunas.
2. Ekosistem padang lamun memiliki fungsi ekologi dan ekonomi.
3. Di Indonesia terdapat 12 jenis lamun di antaranya Enhalus acoroides, Halophila decipiens, H. minor, H. ovalis, H. spinulosa, Thalassia hemprichii, Cymodocea serrulata, Halodule pinifolia, H. uninervis, Syringodium isoetifolium, Thalassodendron ciliatum dan Ruppia maritima.
4. Zonasi lamun secara vertikal terdiri atas zona intertidal dan zona intertidal bawah.
5. Permasalahan utama yang mempengaruhi ekosistem padang lamun adalah akibat pengerukan dan penimbunan yang terus meluas serta pencemaran air
6. Ada 8 pedoman pengelolan ekosistem padang lamun.
B. Saran
Pembangunan di wilayah pesisir khususnya di wilayah Sulawesi Tenggara diharapkan ke depannya lebih memperhatikan keberlanjutan ekosistem padang lamun karena fungsinya yang sangat penting pada laut dangkal.

0 komentar: