Sabtu, 27 Maret 2010

laporan praktek lapang ekologi laut tropis

LAPORAN PRAKTEK LAPANG

EKOLOGI LAUT TROPIS

(Ekosistem Mangrove, Ekosistem Lamun, dan Ekosistem Terumbu Karang)

wpe16157

OLEH

NAMA : M A K W I N

STAMBUK : I1A107074

KELOMPOK : VI (enam)

ASISTEN PEMBIMBING : FADHILAH ALI

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2009

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konsep ekosistem merupakan suatu yang luas, karena di dalamnya terjadi hubungan timbal balik dan saling ketergantungan antara komponen-komponen penyusunnya, yang membentuk hubungan fungsional dan tidak dapat dipisahkan. Di dalam sebuah ekosistem terjadi transfer energi antara komponennya yang bersumber dari sinar matahari melalui proses fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan hijau berklorofil. Makhluk hidup lain yang tidak memiliki kemampuan berfotosintesis, menggunakan energi matahari ini dengan cara mengkonsumsi makhluk fotosintesis tersebut diatas. Dan begitu selanjutnya sehingga terbentuk suatu rantai makanan (Nontji, 1987).

Sumberdaya alam pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen biotik) dan komponen abiotik. Kedua komponen ini secara fungsional berhubungan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu sistem, yang dikenal dengan ekosistem. Salah satu ekosistem utama di wilayah pesisir dan lautan adalah ekosistem hutan mangrove(Anonim 2007).

Istilah ”Green belt” sering diberikan pada mangrove karena peranannya sebagai pelindung pantai. Mangrove adalah ekosistem yang sangat kompleks yang terdapat di kebanyakan garis pantai tropis. Ekosistem mangrove dicirikan oleh tingginya produktivitas primer (kemampuan menghasilkan karbohidrat/sumber makanan melalui fotosintesis. Banyak kajian ilmiah yang menunjukkan bahwa mangrove memiliki peran penting dalam menunjang kualitas dan keberlangsungan kehidupan di wilayah pesisir sekaligus menjaga sumber perikanan. Dari sekitar 15,9 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar 27 % berada di Indonesia(Anonim 2007).

Lebih dari itu, hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem alamiah yang unik dan mempunyai nilai ekologis dan ekonomis tinggi. Disamping menghasilkan bahan dasar untuk keperluan rumah tangga dan industri, hutan mangrove juga memiliki fungsi-fungsi ekologis yang penting antara lain sebagai penyedia nutrien, sebagai tempat pemijahan, tempat pengasuhan, dan tempat mencari makan bagi biota laut tertentu, dan juga mampu berperan sebagai penahan abrasi bagi wilayah daratan yang berada dibelakang ekosistem ini(Anonim 2007).

Kelangsungan suatu fungsi ekosistem sangat menentukan kelestariannya. sebagai Sehingga untuk menjamin sumberdaya alam , kita perlu mengkaji dan memperhatikan hubungan-hubungan ekologis yang berlangsung diantara komponen-komponen yang menyusun sebuah ekosistem mangrove(Anonim 2007).

Lamun kadang-kadang membentuk suatu komunitas yang merupakan habitata bagti berbagai jenis hewan laut. Komunitas lamun ini juga dapat memperlambat gerakan air dan melindungi komunitas mangrove yang berada di daerah belakan padang lamun. Keberadaan ekosistem lamun belum begitu banyak dikenal oleh masyarakat di nadingkan dengan ekosistem mangrove maupun terumbu karang, meskipun diantara ketiga ekosistem tersebut di kawasan pesisir merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam menjalankan fungsi ekologisnya.

Terumbu karang merupakan ekosistem laut yang paling produktiv dan paling tinggi keanekaragaman hayatinya. Produktivitas yang tinggi tersebut memungkinkan terumbu karang menjadi tempat pemijahan, pengasuhan, dan mencari makan dari kebanyakan ikan. Oleh karena itu, secara otomatis produksi ikan di daerah terumbu karang sangat tinggi.

Kerangka hewan karang berfunsi sebagai tempat berlindung atau tempat menempelnya biota laut lainnya. Sejumlah ikan pelagis bergantung pada terumbu karang padfa masa larvanya. Terumbu karang juga merupakan habitat bagi banyak spesies laut. Selain itu terumbu karang juga dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari erosi. Dari sisi sosial ekonomi, terumbu karang adalah sumber perikanan yang produktif, sehingga dapat meningkatkan pendapatan nelayan, penduduk pesisir, dan devisa negara yang berasal dari perikanan dan pariwisata.

Mengingat pentingnya fungsi dari ketiga ekosistem yang ada pada laut tropis, maka perlu diadakannya praktikum ekologi laut tropis untuk keterkaitan antara ketiga ekosistem yang ada baik itu lamun, mangrove, maupun terumbu karang.

Pantai Tapulaga adalah salah satu pantai dengan potensi sumberdaya pesisir dan laut cukup tinggi. Sumberdaya hayati berupa ekosistem mangrove, padang lamun dan ekosistem terumbu karang telah dimanfaatkan masyarakat secara langsung dan tidak langsung sejak dulu. Namun, saat ini telah terjadi degradasi pada ketiga ekosistem tersebut yang terus meningkat dari tahun ke tahun, yang sebagian besarnya diakibatkan oleh aktivitas manusia yang tidak terkontrol. Inventarisasi dan identifikasi spesies dalam ekosistem tersebut, serta pengamatan terhadap kondisi habitat dan faktor lingkungan yang mempengaruhinya akan menggambarkan kondisi ekologi ekosistem tersebut.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan praktek lapang mengenai Ekologi Laut Tropis, tentang pangamatan terhadap ekosistem mangrove, ekosistem lamun, dan ekosistem terumbu karang di kawasan perairan Tapulaga Kecamatan Soroue, Propinsi Sulawesi Tenggara.

B. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari praktek lapang ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kondisi ekologi, kerapatan dan jenis-jenis mangrove serta organisme yang berasosiasi pada ekosistem mangrove.

2. Untuk mengetahui kondisi ekologi, kepadatan dan jenis-jenis lamun serta organisme yang berasosiasi pada ekosistem lamun.

3. Untuk mengetahui kondisi ekolgi, bentuk pertumbuhan jenis karang dan organisme yang berasosiasi pada ekosistem terumbu karang.

Kegunaan dilakukannya praktek lapang ini adalah dapat menambah pengetahuan mengenai spesies-spesies yang mendiami suatu komunitas tumbuhan mangrove, lamun dan terumbu karang serta mengetahui kerapatan, kepadatan dan persen penutupan dari masing-masing ekosistem tersebut.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Ekosistem Mangrove

Mangrove adalah salah satu diantara sedikit tumbuh-tumbuhan tanah timbul yang tahan terhadap salinitas laut terbuka (Odum, 1996). Mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Vegetasi mangrove memiliki kemampuan khusus untuk beradaptasi dengan kondisi tanah yang tergenang, kadar garam yang tinggi, serta kondisi tanah yang kurang stabil. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang paling bervariasi dalam kelompok tumbuhan, struktur dan laju pertumbuhan, serta memiliki nilai ekologis dan sosial ekonomi yang sangat penting (Anonim, 2007).

Menurut Kusmana (2002), pengertian mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove (Anonim, 2007)

Adaptasi pohon mangrove terhadap kadar oksigen yang rendah adalah dengan memiliki bentuk perakaran yang khas, yaitu: (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (misalnya Avicennia, spp., Xylocarpus spp., dan Sonneratia spp.) untuk mengambil oksigen dari udara; dan (2) bertipe penyangga/ tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhizopora spp). Adaptasi pohon mangrove terhadap kadar garam tinggi, yaitu dengan: (1) memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam; (2) berdaun tebal dan kuat yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam; dan (3) daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan. Adaptasi mangrove terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut adalah dengan mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horizontal yang lebar (Bengen, 2002). Hutan mangrove meliputi pohon-pohon-pohonan dan semak yang terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga (Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Ceriops, Xylocarpus, Lumnizera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus) yang termasuk ke dalam 8 famili (Bengen, 2002).

Sebagian besar besar jenis-jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah yang berlumpur, terutama di daerah dimana endapan lumpur terakumulasi (Chapman, 1977 dalam Rusila, dkk., 1999). Di Indonesia, substrat lumpur ini sangat baik untuk tegakan R. mucronata dan A. marina (Kint, 1934 dalam Rusila, dkk., 1999). Jenis-jenis lain seperti R. stylosa tumbuh dengan baik pada substrat berpasir, bahkan pada pulau karang yang mempunyai substrat berupa pecahan karang, kerang dan bagian-bagian dari Halimeda (Ding Hou, 1958 dalam Rusila, dkk., 1999).

Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Kekhasan ekosistem mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang tertinggi di dunia. Sebaran mangrove di Indonesia terutama di wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luas penyebaran mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta hektar pada tahun 1993. Kecenderungan penurunan tersebut mengindikasikan bahwa terjadi degradasi hutan mangrove yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu hektar/tahun. Hal tersebut disebabkan oleh kegiatan konversi menjadi lahan tambak, penebangan liar dan sebagainya (Dahuri, 2002, dalam Anonim, 2007 ).

Pangerang (1998) dalam Taena (2000), menyatakan bahwa komunitas mangrove terdapat pada daerah peralihan yang agak tajam antara lingkungan laut dan darat. Ekosistem ini merupakan salah satu ekosistem yang subur dengan produktifitas tinggi serta merupakan ruang kehidupan biota darat dan laut. Ekosistem mangrove atau bakau merupakan ekosistem yang unik dan memiliki fungsi fisik, fungsi biologi dan ekonomi. Fungsi-fungsi ekosistem mangrove adalah sebagai pelindung pantai, pengendali banjir, pencegah bahan pencemar, dan pencegah intrusi air garam serta sumber energi dan bahan organik bagi lingkungan sekitarnya.

Vegetasi mangrove secara khas memperlihatkan adanya pola zonasi. Zona vegetrasi mangrove nampaknya berkaitan dengan pasang surut. Beberapa penulis melaporkan adanya zonasi mangrove dengan tinggi rendahnya pasang surut dan frekuensi banjir. Di Indonesia, areal yang selalu digenangi walaupun pada saat pasang terendah umunya didominasi oleh Avicennia alba atau Soneratia alba. Area yang digenangi oleh pasang sedang didominasi oleh jenis-jenis Rhizophora. Adapun areal yang digenangi hanya pada saat pasang tertinggi (hanya beberapa kali selama sebulan) umunya didominasi oleh jenis-jenis Bruguiera dan granatum, sedangkan areal yang digenangi hanya pada saat pasang tertinggi (hanya beberapa hari dalam sebulan) umumnya didominasi oleh Bruguiera sexangula dan Lumnitzera littorea. Pada umunya, lebar zonasi mangrove jarang melebihi 4 kilometer, kecuali pada beberapa estuari serta teluk yang dangkal dan tertutup (Rusila, dkk., 1999).

Komposisi flora yang terdapat pada ekosistem mangrove ditentukan oleh beberapa faktor penting seperti kondisi jenis tanah dan genangan pasang surut. Di pantai terbuka pohon yang dominan dan merupakan pohon pionir umumnya adalah api-api (Avicennia) dan pedada (Soneratia). Pada tempat yang terlindung dari hempasan ombak komunitas mangrove terutama diungguli oleh bakau R. mucronata atau R. apiculata. Lebih ke arah daratan pada tanah lempung yang agak pejal dapat ditemukan komunitas tajang (Brugueirea gymnoriza). Sejenis paku laut (Acrostichum aureum) dan jeruju (Acanthus ilicifolius) seringkali dapat ditemukan di daerah pinggiran pohon-pohon mangrove sebagai tumbuhan bawah. Nipa (Nypa fruticans) merupakan jenis palma yang juga merupakan komponen mangrove yang acapkali di tepian sungai yang lebih ke hulu. Zonasi tumbuhan mangrove mempunyai variasi pada lokasi yang berbeda (Nontji, 1987).

Ekosistem mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi (misal, mangrove di Indonesia terdiri atas 157 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan rendah, 118 jenis fauna laut dan berbagai jenis fauna darat (Kusmana, 2002 dalam Anonim, 2007).

Komunitas fauna hutan mangrove membentuk percampuran antara dua kelompok, yaitu: (1) kelompok fauna daratan/ terestrial yang umumnya menempati bagian atas pohon mangrove, terdiri atas insekta, ular, primata, dan burung; (2) kelompok fauna perairan/ akuatik, terdiri atas dua tipe, yaitu yang hidup di kolom air, terutama berbagai jenis ikan dan udang; dan yang menempati substrat baik keras (akar dan batang pohon mangrove) maupun lunak (lumpur), terutama kepiting, kerang dan berbagai jenis invertebrata lainnya (Bengen, 2000). Kelompok hewan lautan yang dominan dalam hutan mangrove adalah mollusca, yang diwakili oleh sejumlah siput dan bivalvia (Nyabaken, 1992).

Hutan mangrove dan vegetasi yang khas memiliki mata rantai makanan yang mendukung kehidupan berbagai jenis dari makhluk hidup dari tingkat yang paling sederhana hingga tingkat yang kompleks. Dalam rantai makanan ini, penghubung antara produksi primer dan produksi ikan di dalam ekosistem hutan mangrove adalah kelompok konsumen detritus yang terdiri atas ketam, kerang-kerangan, kopepoda, amfipoda, nematoda, larva serangga, dan udang. Binatang-binatang laut ini terdiri hanya sedikit jenis, tetapi jumlah individunya banyak sekali., yang memakan sejumlah besar detritus tumbuh-tumbuhan bersama dengan mikroorganisme lainnya. Konsumen detritus terdiri atas karnivora primer dan ikan-ikan kecil, sedangkan konsumen primer meliputi karnivora besar. berupa ikan-ikan buas yang besar (Odum, 1971 dalam Taena, 2000).

Fauna mangrove menyebar secara menegak maupun mendatar, sebaran menegak berlaku bagi jenis-jenis binatang yang hidupnya di lantai mangrove sampai bivalvia yang melekat pada akar. Batang menyebar dari laut ke arah darat berlaku baik bagi jenis-jenis yang hidup sebagai epifauna maupun infauna (Kartawinata et. al., dalam Taena, 2000). Di kawasan mangrove Indonesia sedikitnya tercatat 80 jenis krustacea, dan 65 jenis mollusca. Sumbangan terpenting hutan mangrove terhadap ekosistem perairan adalah lewat luruhan daunnya yang gugur berjatuhan ke dalam air. Luruhan daun mangrove ini merupakan sumber bahan organik terpenting dalam rantai pakan (food chain) di dalam lingkungan perairan yang bisa mencapai 7-8 ton/ha/tahun (Nontji, 1987).

Menurut Russel and hunter (1983) dalam Taena (2000), jenis-jenis bivalvia yang hidup di hutan mangrove dapat dilihat dari komponen-komponena; (1) umunya bivalvia berasosiasi dengan daerah-daerah estuaria/mangrove; (2) kemampuan bivalvia untuk bertahan hidup di daerah mangrove sebagai suatu habitat pada batas rentang ekologis; (3) bivalvia secara lambat laun dapat menyesuaikan diri dengan sistem yang khas.

B. Ekosistem Lamun

Padang lamun adalah ekosistem yang ditumbuhi lamun sebagai vegetasi yang dominan (Tomascik et al., 1997, Wibowo et al., 1996) . Wilayah ini terdapat antara batas terendah daerah pasang surut sampai kedalaman tertentu di mana matahari masih dapat mencapai dasar laut. Padang lamun mendukung kehidupan biota yang cukup beragam dan berhubungan satu sama lain. Jaringan makanan yang terbentuk antara padang lamun dan biota lain adalah sangat kompleks. Di samping itu, padang lamun adalah “pengekspor” bahan organik ke ekosistem lain seperti ekosistem terumbu karang dan hutan bakau melalui hewan-hewan herbivora atau melaui proses dekomposisi sebagai serasah. Keanekaragaman biota padang lamun adalah cukup tinggi. Sejumlah invertebrata: moluska (Pinna, Lambis, dan Strombus); Echinodermata (teripang - Holoturia, bulu babi – Diadema sp.), dan bintang laut (Archaster, Linckia); serta Krustasea (udang dan kepiting).Di Indonesia, padang lamun sering di jumpai berdekatan dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang (Tomascik et al., 1997, Wibowo et al., 1996) . sehingga interaksi ketiga ekosistem ini sangat erat. Struktur komunitas dan sifat fisik ketiga ekosistem ini saling medukung, sehingga bila salah satu ekosistem terganggu, ekosistem yang lain akan terpengaruh. Seperti terumbu karang, padang lamun memperlambat gerakan arus dan gelombang. Karenanya, sedimen yag tersuspensi dalam air akan mengendap dengan lebih cepat. Sejumlah organisme yang tumbuh pada daun-daun lamun juga membantu proses sedimentasi ini, yang selanjutnya dapat menjaga kualitas ekosistem di sekitarnya yang rentan terhadap sedimentasi. Ancaman terberat yang dihadapi ekosistem padang lamun adalah pembuangan limbah dan air panas industri dan domestik. Eutrofikasi dan sedimentasi juga menjadi ancaman yang besar bagi padang lamun yang dapat menyebabkan layunya padang lamun akibat cendawan lumpur (Myxomycetes) (Giesen dalam Wibowo, 1996)

Tanaman lamun bisa hidup normal dalam keadaan terbenam, dan mempunyai sistem perakaran jangkar (rhizoma) yang berkembang baik. Mengingat pada dasarnya tak berbeda dengan tanaman darat, maka lamun punya keunikan yaitu memiliki bunga dan buah yang kemudian berkembang menjadi benih. Semuanya dilakukan dalam keadaan terbenam di perairan laut. Hal inilah yang menjadi perbedaan nyata lamun dengan tumbuhan yang hidup terbenam di laut lainnya seperti makro-alga atau rumput laut (seaweed). Untuk bisa hidup normal, akar tanaman lamun cukup kuat menghujam ke dasar perairan tempat tumbuh. Akar ini tidak berfungsi penting dalam pengambilan air –sebagaimana tanaman darat-- karena daun dapat menyerap nutrien (zat gizi) secara langsung dari dalam air lat. Tudung akarnya dapat menyerap nutrien dan melakukan fiksasi nitrogen. Sementara itu, untuk menjaga agar tubuhnya tetap mengapung dalam kolom air, lamun dilengkapi dengan rongga udara (Husein, 2005).

Secara ekologis padang lamun memiliki peranan penting bagi ekosistem. Lamun merupakan sumber pakan bagi invertebrata, tempat tinggal bagi biota perairan dan melindungi mereka dari serangan predator. Lamun juga menyokong rantai makanan dan penting dalam proses siklus nutrien serta sebagai pelindung pantai dari ancaman erosi ataupun abrasi. Ekosistem Padang Lamun memiliki diversitas dan densitas fauna yang tinggi dikarenakan karena gerakan daun lamun dapat merangkap larva invertebrata dan makanan tersuspensi pada kolom air. Alasan lain karena batang lamun dapat menghalangi pemangsaan fauna bentos sehingga kerapatan dan keanekaragaman fauna bentos tinggi. (Romimohtarto dkk, 1999).

Ekosistem padang lamun mempunya potensi ekonomi yang sangat besar. Potensi ini mendorong pengambilan sumberdaya yang dikandungnya secara berlebihan dan tanpa mengindahkan kaidah-kaidah konservasi. Karena adanya asumsi bahwa sumberdaya yang berada di ekosistem padang lamun adalah milik bersama (common property), sehingga bila tidak dimanfaatkan pada saat ini maka akan dimanfaatkan orang lain (tragedy of common). Untuk mengeksploitasi sumberdaya hayati tersebut digunakan cara-cara destruktif, mis. untuk menangkap ikan digunakan racun sianida, bahan peledak, dan lain-lain yang semuanya itu dapat merusak ekosistem padang lamun. Ancaman yang mengakibatkan terdegrasinya ekosistem padang lamun bisa disebabkan dari aktivitas manusia (pertanian, pertambakan, industri, pertambangan, pengembangan kota, reklamasi, dsb.) dan pengaruh dari proses-proses alami (angin, arus, hujan, gelombang, dsb.) (Dahuri, 2003).

Interaksi ekosistem padang lamun dengan ekosistem hutan mangrove sangat menentukan tipe substrat. Pengrusakan ekosistem hutan mangrove dapat menghilangkan salah satu fungsinya sebagai perangkap sedimen. Tanpa hutan mangrove maka sedimen dari darat akan hanyut dan menyebar ke laut. Padahal dengan terperangkapnya sedimen di hutan mangrove secara perlahan dan dalam jumlah yang besar akan bergeser ke padang lamun. kedalaman substrat berperan dalam menjaga stabilitas sedimen yang mencakup dua hal, yaitu pelindung lamun dari arus air laut, dan tempat pengolahan serta pemasok nutrien. Kedalaman sedimen yang cukup merupakan kebutuhan utama untuk pertumbuhan dan perkembangan habitat lamun.

Tetapi juga sedimen yang mengandung bahan pencemar dan terperangkap di ekosistem pesisir merupakan masalah serius degradasi likungan. pembukaan lahan atas sebagai bagian dari kegiatan pertanian, telah meningkatkan limbah pertanian, baik padat maupun cair yang masuk perairan pesisir dan laut melalui aliran sungai. Limbah cair yang mengandung nitrogen dan fosfor berpotensi menimbulkan keadaan lewat subur (eutrofikasi) yang merugikan ekosistem pesisir. (Bengen, 2002).

C. Ekosistem Terumbu Karang

Wilayah ekosistem terumbu karang mencakup dataran terumbu (reef bed), lereng terumbu (fringing reef), goba (laguna yang terdapat didaerah terumbu karang), serta gosong karang (Tomascik et al., 1997) . Ekosistem terumbu karang terdapat di lingkungan perairan yang agak dangkal. Untuk mencapai pertumbuhan maksimumnya, terumbu karang memerlukan perairan yang jernih, dengan suhu yang hangat, gerakan gelombang yang besar, serta sirkulasi yang lancar dan terhindar dari proses sedimentasi. Terumbu karang merupakan ekosistem laut yang paling produktif dan paling tinggi keaneka ragaman hayatinya. Berdasarkan data yang dikumpulkan selama Ekspedisi Snelius II (1984), di perairan Indonesia terdapat sekitar 350 spesies karang keras yang termasuk ke dalam 75 genera. Kerangka hewan karang berfungsi sebagai tempat berlindung atau tempat menempelnya biota laut lainnya. Sejumlah ikan pelagis bergantung pada keberadan terumbu karang pada masa larvanya. Terumbu karang juga merupakan habitat bagi banyak spesies laut. Selain itu, terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari erosi. Dari sisi sosial ekonomi, terumbu karang adalah sumber perikanan yang produktif, sehingga dapat meningkatkan pendapatan nelayan, penduduk pesisir, dan devisa negara yang berasal dari perikanan dan pariwisata(Tomascik et al., 1997) .

Karang memiliki tentakel yang mengelilingi mulut dan dalam tentakel tedapat sel penyengat (nematokis) yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsanya, dengan tentakel tersebut individu karang dinamakan polip karang. Warna tentakel karang keras secara umum tidak berwarna atau bening seperti ubur-ubur, namun ada pula beberapa coklat muda, polip karang keras umumnya hidup berkoloni. Dan mereka menyatukan rangka kapur satu dengan yang lainnya, sehingga dari luar mereka terlihat seperti batu kapur. Kelompok karang lainya yang terdapat di terumbu karang adalah kelompok karang lunak, kelompok anemon, dan kelompok kipas laut. Dengan adanya kelompok-kelompok karang maka terbentuklah suatu hamparan terumbu karang di mana di dalamnya tedapat beberapa tumbuhan dan berbagai hewan laut lainya (Admin, 2008).

Polip karang bersimbiosis dengan alga bersel tunggal (monuceluler), yang terdapat dalam jaringan endoderm karang. Alga ini termasuk dalam dinoflagellata marga symbiodinium yang mempumyai klorofil untuk proses potosintesis. Alga ini dapat disebut sebagai zooxantellae (Admin, 2008)..

Zoxantellae mendapatkan keuntungan karena ia mendapat tempat tinggal yang aman di dalam tubuh polip karang keras. Sedangkan polip karang keras mendapatkan keuntungan karena mendapatkan makanan dari hasil potosintesis alga yaitu oksigen dan energi. Hasil metabolisme makanan dari karang diambil zoxantellae untuk proses potosintesis dengan bantuan sinar matahari, kemudian hasilnya dimanfaatkan polip karang. Dengan demikian keduanya saling ketergantungan dan tidak dapat bertahan hidup tanpa ada salah satunya. Zoxantellae adalah salah satu penyusun karang yang paling penting. Tanpa peran zooxantella terumbu karang tidak akan terbentuk karena polip karang keras tidak akan dapat hidup tanpa zoxantellae (Admin, 2008).

Pembuatan jetty, pembukaan lahan yang menyebabkan peningkatan sedimentasi, penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan racun, pariwisata, dan transporatsi laut yang serampangan merupakan ancaman terbesar bagi kondisi terumbu karang Indonesia. Ancaman ini telah menunjukan gejala yang mengkhawatirkan sehingga kondisi terumbu karang yang masih baik hanya tinggal 7% saja(Admin, 2008).

III. METODE PRAKTEK

A. Waktu dan Lokasi Praktek Lapang

Praktek lapang Ekologi Laut Tropis dilaksanakan pada hari Minggu, tanggal 29 November 2009 pada pukul 09.00-12.00 WITA bertempat di Desa Tapulaga Kecamatan Sorue jaya Kabupaten Konawe.

B. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada praktek lapang ini dapat dilihat pada tabel berikut:

Tebel 1. Alat dan Bahan serta Kegunaannya yang digunakan pada praktek lapang Ekologi Laut Tropis.

No.

Alat dan Bahan

Kegunaan

1.

Alat

- kamera digital

- Sebagai alat dokumentasi

- Buku identifikasi

- Untuk mengidentifikasi jenis-jenis mangrove, lamun yang diamati

- kantong sampel

- Untuk tempat menyimpan sampel organisme yang ditemukan.

- alat tulis menulis

- Roll meter

- Tali rafiah dan patok

- Untuk mencatat dan menggambar hasil pengamatan.

- Untuk mengukur stasiun yang dibuat pada ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang serta mengukur pohon mangrove

- Untuk membuat plot.

2.

Bahan

- Ekosistem mangrove

- Ekosistem padang lamun

- Ekosistem terumbu karang

- Sebagai obyek yang diamati.

- Sebagai obyek yang diamati.

- Sebagai obyek yang diamati.

C. Prosedur Kerja

Prosedur kerja pada praktikum kali ini adalah sebagai berikut :

1. Ekosistem Mangrove

Prosedur kerja pada praktikum kali ini adalah sebagai berikut :

a. Membuat transek garis sebagai acuan dari tepi pantai ke arah darat (batas vegetasi mangrove tumbuh).

b. Menentukan 3 titik atau lebih sepanjang transek garis tersebut berdasarkan karakteristik yang berbeda untuk membuat transek kuadrat ukuran 10 x 10 m untuk pengamatan vegetasi kategori pohon (diameter > 4 cm), dan didalam transek tersebut dibuat lagi transek ukuran 5 x 5 m untuk kategori anakan (diameter <> 1 m) dan untuk kategori semai (tinggi <>

c. Mencatat habitat setiap jenis mangrove yang ditemukan (terutama tipe substrat) dan jumlah jenis berdasarkan kategori tersebut.

d. Mengamati bentuk daun, batang dan akar serta tekstur (ketebalan, bentuk, tinggi, kekasaran, warna dll).

e. Mengidentifikasi setiap jenis mangrove yang ditemukan

f. Membuat tabel pengamatan mangrove untuk memudahkan pencatatan di lapangan.

2. Ekosistem Lamun

  1. Membuat transek garis lurus sebagai acuan dari tepi pantai ke arah laut dengan panjang 50 m.
  2. Menentukan 3 titik untuk tiga kali pengambilan sampel lamun sepanjang transek garis tersebut berdasarkan karakteristik yang berbeda untuk membuat transek kuadrat ukuran 1m x 1m.
  3. Mencatat habitat setiap jenis lamun yang ditemukan (terutama tipe substrat) dan jumlah jenis berdasarkan kategori tersebut.
  4. Mencatat setiap hewan dan tumbuhan yang ditemukan berasosiasi pada lamun yang ditemukan.
  5. Mengidentifikasi setiap jenis lamun yang ditemukan.
  6. Membuat tabel pengamatan mangrove untuk memudahkan pencatatan di lapangan.

3. Ekosistem Terumbu Karang

a. Membuat transek garis lurus sebagai acuan dengan panjang 50 m.

b. Mengidentifikasi setiap jenis terumbu karang yang ditemukan dengan metode pengamatan langsung.

c. Mencatat nilai yang nampak pada setiap penutupan karang dari jarak 0 sampai 50 meter

D. Analisis Data

1. Kerapatan Jenis Mangrove

Di =

ni

A

Dimana :

ni = jumlah individu masing-masing jenis

A = luas area plot pengamatan

2. Kepadatan lamun

D =

ni

A

Dimana :

ni = jumlah individu spesies ke-i

A = luas area pengamatan

3. Persentase Penutupan Karang

C = (a / A) x 100%

Dimana :

C = persentase penutupan lifeform i

a = panjang transek lifeform i

A = panjang total transek

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Praktek Lapang

DSC04165

Gamabr 6. Desa Tapulaga Kecamatan Soropia

Desa Tapulaga merupakan salah satu desa yang berada di wilayah pesisir dengan luas wilayah 2.500 ha. Secara administratif Desa Tapulaga berada dalam wilayah pemerintahan Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Propinsi Sulawesi Tenggara dan terletak pada posisi astronomis 03o 56’ 12” LS dan 122o 38’ 48” BT. Secara geofrafis Desa Tapulaga yaitu Sebelah utara berbatasan dengan gunung Nipa-Nipa, Sebelah selatan berbatasan dengan laut Banda, Sebelah timur berbatasan dengan Desa Bajo Indah, Sebelah barat berbatasan dengan Desa Sorue Jaya. (Sumber: Kantor Desa Tapulaga, 2009)

Perairan pantai Desa Tapulaga memiliki kondisi topografi perairan yang landai dengan kawasan intertidal mencapai 220 m dan panjang pantai + 5 km. Peraiaran pantai ini memiliki tipe substrat pasir berlumpur, berpasir, pasir bercampur pecahan karang. Merupakan suatu kondisi yang baik sebagai tempat hidup anemon laut, sehingga di kawasan tersebut banyak terdapat anemon laut. Ketersediaan anemon laut tersebut dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pemanfaatan anemon laut ini membantu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan ditengah kesulitan memperoleh bahan olahan yang berasal dari laut.

Penduduk pada Desa Tapulaga Kecamatan Soropia pada bulan Januari sampai bulan April berjumlah 283 jiwa, dan pada bulan Mei 280 jiwa. Sebagian besar pekerjaan sebagai nelayan dengan Tingkat Penghasilan Rata-rata : Rp. 30.000,00/Hari. Luas Wilayah 250 Ha. Luas wilayah 250 Ha. Tingkat Pendidikan SD (20,21%), SMP (16%), SLTA (49,7%), D-3 (4,0%), Sarjana (8,0%).

A. Ekosistem Mangrove

1. Kerapatan Mangrove

Dari hasil pengamatan pada pengukuran ekosistem mangrove ditemukan hanya 1 spesies yaitu sonneratia alba. Berdasarkan hasil pengamatan di stasiun VI, jenis mangrove yang ditemukan yaitu dari jenis Sonneratia alba jumlah individu untuk pohon sebanyak 1 pohon dan semai sebanyak 2 untuk anakan tidak ditemukan sama sekali pada stasiun pengamatan.

Tabel 2. Hasil Pengukuran Kerapatan Jenis Mangrove

no

jenis

jumlah individu

kerapatan jenis (ind/m2)

kerapatan

rata-rata (ind/m2)

pohon

anakan

semai

Pohon

anakan

semai

1

Sonneratia alba

1

0

2

0.01

0

2

1.005

Berdasarkan hasil pengukuran kerapatan rata-rata yang diperoleh yaitu 1,005 ind/m2 kerapatan ini meruapakan kerapatan mangrove kategori rendah atau jarang. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Dewanti, 1999) menyatakan bahwa hasil transformasi kerapatan rata-rata untuk kerapatan mangrove berdasarkan data yang ada maka kondisi mangrove di lokasi penelitian cukup baik dengan nilai rasio maksimum 0,33-1,5 ind/m2, semakin tinggi nilai maksimal maka kondisi mangrove semakin baik.

Pada salah satu stasiun pengamatan dengan luasan area 10 x 10 m2 dapat diamati bahwa mangrove merupakan komunitas bahari yang sangat menarik, karena mangrove dapat tumbuh membentuk sebuah ekosistem pada daerah pantai yang berhubungan langsung dengan laut. Keberadaan ekosistem ini dimungkinkan oleh pola adaptasi yang dikembangkan mangrove untuk bertahan pada kondisi lingkungan tersebut. Sesuai dengan pernyataan Rusila, dkk. (1999), bahwa tumbuhan mangrove memiliki kemampuan khusus untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan ekstrim, seperti kondisi tanah yang tergenang, kadar garam yang tinggi, serta kondisi yang kurang stabil.

Vegetasi mangrove yang diamati pada praktek lapang ini didominasi oleh jenis Sonneratia sp. dengan bentuk perakaran tunggang yang muncul ke permukaan, memiliki batang berwarna abu-abu tua dengan kulit keras, daun berbentuk elip menyempit berwarna hijau tua dengan hijau muda pada bagian tengah dan kemerahan di bagian bawah. Hasil pengamatan visual ini sesuai dengan morfologi mangrove yang ditemukan adalah jenis Sonneratia alba yang terdiri dari satu pohon dan dua anak semai. Jenis mangrove ini merupakan jenis mangrove pionir yang tidak toleran terhadap air tawar dalam periode yang lama. Menyukai tanah yang bercampur lumpur dan berpasir, kadang-kadang pada batuan dan karang. Sering ditemukan di lokasi pesisr yang terlindung dari hempasan gelombang, juga di muara dan sekitar pulau-pulau lepas pantai dilokasi diaman jenis tumbuhan lain telah ditebang, maka jenis ini dapat membentuk tegakan yang padat. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Dahuri et al, 1996) yang menyatakan bahwa mangrove mampu tumbuh hanya pada pantai yang terlindung dari gerakan gelombang. Bila keadaan pantai sebaliknya, benih tidak mampu tumbuh dengan sempurna dan menjatuhkan akarnya. Ditegaskan oleh Romimohtarto dan Juwana (1999) bahwa pantai-pantai ini berada disepanjang sisi pulau-pulau yang terlindung dari angin, serangakaian pulau atau daratan di belakang terumbu karang dilepas pantai yang terlindung.

2. Organisme Yang Berasosias

Organisme yang ditemukan pada vegetasi mangrove berasal dari filum mollusca, seperti Burungo (Telescopium-telescopium) dan kepiting bakau (Scyla serrata). Keberadaan fauna tersebut diindikasikan karena mangrove dimanfaatkan sebagai tempat berlindung dan mencari makan. Kedua jenis spesies ini ditemukan hidup menempel pada batang mangrove. Sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan Macnae (1950) dalam Taena (2000) dan Dharma (1998), bahwa adaptasi yang dilakukan bivalvia bentik dan gastropoda yang melekatkan diri pada akar-akar mangrove menggunakan bisus. Dharma (1998) juga menambahkan bahwa selain pada akar mangrove, gastropoda jenis tertentu juga melekat pada batang dan daun bahkan ada yang memanjat.

3. Faktor Lingkungan

Struktur, fungsi ekosistem mangrove, komposisi dan distrbusi spesies, serta pola pertumbuhan organisme mangrove sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan. Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap mangrove adalah fisiografi pantai, iklim, pasang surut, gelombang, salinitas, Oksigen terlarut, tanah, nutrien dan proteksi (Pangerang, 2007).

a. Substrat

Pada stasiun pengamatan, dapat diamati subtrat berupa pasir berbatu oleh vegetasi mangrove. Pada daerah yang ditumbuhi mangrove terjadi akumulasi sedimen yang berasal dari pantai dan erosi daerah hulu sungai, sehingga menjadi tanah yang lebih stabil yang dapat ditumbuhi oleh mangrove jenis Sonnertia alba. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hutabarat dan Evans (1986), bahwa daerah mangrove merupakan suatu tempat yang bergerak, dimana tanah lumpur dan daratan secara terus menerus dibentuk oleh tumbuh-tumbuhan yang kemudian secara perlahan-lahan berubah menjadi daerah semi terrestrial (semi daratan).

b. Fisiografi pantai

Fisiografi pantai dapat mempengaruhi komposisi, distribusi spesies dan lebar hutan mangrove. Pada pantai yang landai,komposisi ekosistem mangrove lebih beragam jika dibandingkan dengan pantai yang terjal. Hal ini disebabkan karena pantai landai menyediakan ruang yang lebih luas untuk tumbuhnya mangrove sehingga distribusi spesies menjadi semakin luas dan lebar. Pada pantai yang terjal komposisi, distribusi dan lebar hutan mangrove lebih kecil karena kontur

yang terjal menyulitkan pohon mangrove untuk tumbuh.

c. Pasang

Pasang yang terjadi di kawasan mangrove sangat menentukan zonasi tumbuhan dan komunitas hewan yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Secara rinci pengaruh pasang terhadap pertumbuhan mangrove dijelaskan sebagai berikut:

1. Lama pasang

Lama terjadinya pasang di kawasan mangrove dapat mempengaruhi perubahan salinitas air dimana salinitas akanmeningkat pada saat pasang dan sebaliknya akan menurun pada saat air laut surut

2. Perubahan salinitas yang terjadi sebagai akibat lama terjadinya pasang merupakan faktor pembatas yangmempengaruhi distribusi spesies secara horizontal

3. Perpindahan massa air antara air tawar dengan air laut mempengaruhi distribusi vertikal organisme

4. Durasi pasang

5. Struktur dan kesuburan mangrove di suatu kawasan yang memiliki jenis pasang diurnal, semi diurnal, dan campuran akan berbeda.

6. Komposisi spesies dan distribusi areal yang digenangi berbeda menurut durasi pasang atau frekuensi penggenangan. Misalnya : penggenagan sepanjang waktu maka jenis yang dominan adalah Rhizophora mucronata dan jenis Bruguiera serta Xylocarpus kadang-kadang ada.

7. Rentang pasang (tinggi pasang)

8. Akar tunjang yang dimiliki Rhizophora mucronata menjadi lebih tinggi pada lokasi yang memiliki pasang yang tinggi dan sebaliknya

9. Pneumatophora Sonneratia sp menjadi lebih kuat dan panjang pada lokasi yang memiliki pasang yang tinggi

C. Gelombang dan Arus

1. Gelombang dan arus dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem mangrove. Pada lokasi-lokasi yang memiliki gelombang dan arus yang cukup besar biasanya hutan mangrove mengalami abrasi sehingga terjadi pengurangan luasan hutan.

2. Gelombang dan arus juga berpengaruh langsung terhadap distribusi spesies misalnya buah atau semai Rhizophora terbawa gelombang dan arus sampai menemukan substrat yang sesuai untuk menancap dan akhirnya tumbuh.

3. Gelombang dan arus berpengaruh tidak langsung terhadap sedimentasi pantai dan pembentukan padatan-padatan pasir di muara sungai. Terjadinya sedimentasi dan padatan-padatan pasir ini merupakan substrat yang baik untuk menunjang pertumbuhan mangrove

4. Gelombang dan arus mempengaruhi daya tahan organisme akuatik melalui transportasi nutrien-nutrien penting dari mangrove ke laut. Nutrien-nutrien yang berasal dari hasil dekomposisi serasah maupun yang berasal dari runoff daratan dan terjebak di hutan mangrove akan terbawa oleh arus dan gelombang ke laut pada saat surut.

d. Iklim

Mempengaruhi perkembangan tumbuhan dan perubahan faktor fisik (substrat dan air). Pengaruh iklim terhadap pertimbuhan mangrove melalui cahaya, curah hujan, suhu, dan angin. Penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

1. Cahaya

1. Cahaya berpengaruh terhadap proses fotosintesis, respirasi, fisiologi, dan struktur fisik mangrove

2. Intensitas, kualitas, lama (mangrove adalah tumbuhan long day plants yang membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi sehingga sesuai untuk hidup di daerah tropis) pencahayaan mempengaruhi pertumbuhan mangrove

3. Laju pertumbuhan tahunan mangrove yang berada di bawah naungan sinar matahari lebih kecil dan sedangkan laju kematian adalah sebaliknya

4. Cahaya berpengaruh terhadap perbungaan dan germinasi dimana tumbuhan yang berada di luar kelompok (gerombol) akan menghasilkan lebih banyak bunga karena mendapat sinar matahari lebih banyak daripada tumbuhan yang berada di dalam gerombol.

2. Curah hujan

1. Jumlah, lama, dan distribusi hujan mempengaruhi perkembangan tumbuhan mangrove

2. Curah hujan yang terjadi mempengaruhi kondisi udara, suhu air, salinitas air dan tanah

3. Curah hujan optimum pada suatu lokasi yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mangrove adalah yang berada pada kisaran 1500-3000 mm/tahun 3. Suhu

4. Suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan respirasi)

5. Produksi daun baru Avicennia marina terjadi pada suhu 18-20C dan jika suhu lebih tinggi maka produksi menjadi berkurang

6. Rhizophora stylosa, Ceriops, Excocaria, Lumnitzera tumbuh optimal pada suhu 26-28C

7. Bruguiera tumbuah optimal pada suhu 27C, dan Xylocarpus tumbuh optimal pada suhu 21-26C

4. Angin

Angin mempengaruhi terjadinya gelombang dan arus Angin merupakan agen polinasi dan diseminasi biji sehingga membantu terjadinya proses reproduksi tumbuhan mangrove

e. Salinitas

1. Salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh berkisar antara 10-30 ppt langsung dapat mempengaruhi laju pertumbuhan dan zonasi mangrove, hal ini terkait dengan frekuensi penggenangan

2. Salinitas air akan meningkat jika pada siang hari cuaca panas dan dalam keadaan pasang

3. Salinitas air tanah lebih rendah dari salinitas air

f. Oksigen Terlarut

1. Oksigen terlarut berperan penting dalam dekomposisi serasah karena bakteri dan fungsi yang bertindak sebagai dekomposer membutuhkan oksigen untuk kehidupannya.

2. Oksigen terlarut juga penting dalam proses respirasi dan fotosintesis 3. Oksigen terlarut berada dalam kondisi tertinggi pada siang hari dan kondisi terendah pada malam hari

g. Hara

Unsur hara yang terdapat di ekosistem mangrove terdiri dari hara inorganik dan organik.

1. Inorganik : P,K,Ca,Mg,Na

2. Organik : Allochtonous dan Autochtonous (fitoplankton, bakteri, alga)

1. Ekosistem Lamun

1. Kepadatan Lamun

Pada pengamatan dilapangan di didapat hanya 1 spesies yaitu Thallasia hemprichii dan 2 jenis alga yaitu Halimeda sp dan Padina sp. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Hutomo dkk dalam Oetama, 2007), yang meyatakan bahwa lamun jenis Enhalus acroides dan Thallasia hemprichii, dimana jenis ini melimpah dan tersebar luas, sering mendominasi padang lamun berjenis campuran , kisaran vertikal luas dari daerah pasang surut sampai kedalaman 25 meter dan tumbuh diberbagai substrat yang berbeda seperti pasir berlumpur atau pasir agak kasar dengan puing karang yang kasar.

Gambar 8. Thallasia hemprichii

Adapun kerapatan pada ekosistem lamun di Desa Tapula dapat dilihat pada tabel 3 sebagai berikut:

Tabel 3. Hasil Pengukuran Kepadatan Lamun

Transek

Jenis

Kepadatan (ind/m2)

Kepadatan

rata-rata (ind/m2)

I

Thalassia hemprici

13

Thalassia hemprici

7

Thalassia hemprici

3

Kepadatan (ind/m2)

23

II

Thalassia hemprici

17

Thalassia hemprici

10

Kepadatan (ind/m2)

27

III

Thalassia hemprici

11

Thalassia hemprici

7

Kepadatan (ind/m2)

18

Berasarkan hasil pengamatan yang diperoleh di lapangan, jenis lamun yang ditemukan pada stasiun 6 pada transek kuadrat 1 x 1 meter dengan 16 plot didalam transek tersebut yang dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan di titik yang berbeda pada 1 garis lurus dari tepi pantai/daratan. Pada titik yang pertama ditemukan 23 individu lamun jenis Thallasia hemprichii. Pada transek yang ke dua ditemukan 27 individu lamun jenis Thallasia hemprichii dan 5 individu alga jenis Halimeda sp, sedangkan pada transek yang ke tiga ditemukan 18 individu jenis lamun Thallasia hemprichii dan 3 individu alga jenis padina sp.

Dari hasil pengukuran kepadatan jenis lamun, dimana terbagi atas 3 transek 1, 2 dan 3, di dapatkan kepadatan lamun dari masing-masing transek masuk kategori rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Mulyawan, 2009) menyatakan bahwa Kisaran nilai kerapatan spesies lamun Nilai kerapatan spesies lamun terendah dari kisaran 10-200 ind/m2.

2. Organisme yang Berasosiasi

Organiusme yang diperoleh dari ekosistem lamun diantaranya dari jenis bintang laut Protoreaster nodosus, Asterias sp.

Pada ekosistem ini hidup beraneka ragam biota laut, seperti ikan, krustasea, moluska (Pinna sp., Lambis sp., Strombus sp.), Ekinodermata (Holothuria sp., Synapta sp., Diadema sp., Archaster sp., Linckia sp.), dan cacing (Polikaeta) Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh (Bengen, 2002). membagi dalam Periphyton (bakteri dan tumbuhan bersel satu), Epiphytes (alga yang lebih besar yang tumbuh di daun lamun), Infauna (hewan yang hidup dalam sedimen, di antara rhizoma), Mobile epifauna (moluska yang berasosiasi di permukaan sedime, sering ditemukan di antara luruhan lamun, di atas tangkai atau daun lamun), Sessile epifauna (hewan yang menempel permanen pada tangkai atau daun lamun), dan Epbenthic fauna (hewan mobile yang berasosiasi bebas dengan padang lamun).

Ikan. Padang lamun merupakan habitat yang sangat penting bagi komunitas ikan. Ditemukan 360 spesies ikan yang berasosiasi dengan padang lamun. Spesies yang bernilai ekonomis dan dominan adalah siganid (beronang). Selain itu terdapat juga penyu hijau dan dugong yang memanfaatkan daun lamun sebagai pakannya.

Pada prinsipnya ikan-ikan yang hidup di habitat padang lamun dapat dikategorikan menjadi 4 kelompok, yaitu (1) tinggal sepanjang waktu untuk berpijah dan kegiatan lainnya, (2) tinggal sejak juvenil hingga stadia dewasa, tetapi berpijah di tempat lain, (3) tinggal hanya selama stadia juvenil, dan (4) tinggal hanya sesaat (Hutomo & Martosewojo, 1977).

Moluska. Moluska merupakan komponen penting dan terbesar di antara hewan avertebrata di lingkungan laut. Dalam filum Moluska, klas Gastropoda merupakan komponen utama atau terbe­sar, menempati habitat terestrial hingga kedalaman ribuan meter di dasar laut. Umumnya bergerak dalam wilayah yang terbatas tetapi mobile.

Sejumlah jenis kerang mampu mengha­silkan mutiara alam yang bermutu tinggi. Keindahan dan kelangkaan sejumlah jenis moluska, membuat para kolektor bersedia membayar dengan harga yang mahal sekalipun. Meningkatnya industri turisme telah ter­bukti ikut menstimulir perdagangan cangkang moluska.

Krustasea. Kepiting, lobster dan udang bernilai ekonomis penting dan merupakan jenis berukuran besar yang masuk dalam kelas Malacostraca. Jones & Morgan (1994), kepiting rajungan untuk penghindaran diri terhadap predator dilakukan dengan ruaya vertikal dan membenamkan diri dalam substrat.

Ekinodermata. 5 kelas dalam filum ini adalah : bintang laut, bulu babi, teripang, bintang rapuh dan lili laut. Kelimanya menarik perhatian dan cukup melimpah dimana ekinodermata berasosiasi dengan padang lamun.

Teripang, bintang rapuh dan lili laut jarang sekali menim­bulkan pengaruh ekologis yang nyata terhadap padang lamun. Bintang laut yang preda­tor dan bulu babi yang herbivor adalah yang paling nyata mempengaruhi ekologis komunitas lamun.

Alga. Trono dan Fortes (1988) mengemukakan bahwa ganggang berukuran besar (macro algae) yang merupakan tanaman tingkat rendah, terdiri dari tiga divisi: Chlorophyta, Phaeophyta dan Rhodophyta yang ketiganya dibedakan oleh kandungan pigmen foto­sintesa.

Umumnya rumput laut (seaweeds) terdapat di sekitar pantai dalam jumlah dan jenis yang beraneka ragam. Perairan yang potensial di Indonesia, menyebabkan hampir seluruh perairan pantai di tiap provinsi dapat ditumbuhi rumput laut (Winar­no, 1990).

Plankton. Berdasarkan jenisnya plankton dibagi atas fitoplankton, merupakan organisma autotrof yang dapat berfotosintesis, dan karena kemampuannya membentuk zat organik dari zat anorganik menjadikannya produsen primer di laut (Nontji, 1987); Zooplankton sebagai pengikat energi dari fitoplankton, karena merupakan predator utama bagi fitoplankton, juga merupakan pengontrol dari produksi fitoplankton. Berdasarkan daur hidupnya, zooplankton dibagi atas dua golongan yaitu holoplankton dan meroplankton. Plankton masih dapat diklasifikasikan lagi berdasarkan habitat dan distribusi kedalaman. Plankton yang berukuran kecil tidaklah berarti mereka adalah organisme yang tidak penting, malah sebaliknya orga­nisme ini bernilai ekonomis sangat penting di dalam ekosis­tem bahari karena merupakan sumber makanan utama bagi orga­nisme lainnya

3. Faktor Lingkungan

1. Substrat

Berdasarkan hasil pengamatan di desa Tapulaga, kerapatan mangrove di daerah tersebut termasuk pada kategori rendah, hal ini karena disebabkan oleh faktor lingkungan. Menurut Ginting (2001) faktor lingkungan yang mempengaruhi kerapatan mangrove antara lain pH umumnya asam, permeabilitas lambat, dengan C organik rendah, top soil tipis (<10 style=""> menyebabkan hanya jenis-jenis tertentu yang dapat tumbuh, dengan tingkat kerapatan yang jarang. Sedangkan dari kondisi kualitas air, seperti pH tanah relatif basa, DO rendah (<1), style=""> kandungan merkuri rendah. Kondisi kualitas air dapat menghambat pertumbuhan mangrove. Faktor lainnya menyebabkannya rendahnya tingkat kerapatan pohon diekosistem mangrove bula adalah habitatnya agak kering, dan suplai air tawar rendah. Fauziah (1998) menyatakan bahwa jenis-jenis Sonneratia umumnya tumbuh dengan baik pada daerah yang salinitas dibawah 25 permil, Rhizophora dapat toleran dalam kisaran salinitas luas (12 ‰ sampai 55 ‰) sedangkan Ceriops tagal memiliki toleransi salinitas (12 ‰ hingga 60 ‰).

2. Suhu

Beberapa peneliti melaporkan adanya pengaruh nyata perubahan suhu terhadap kehidupan lamun, antara lain dapat mempengaruhi metabolisme, penyerapan unsur hara dan kelangsungan hidup lamun (Brouns dan Hiejs 1986; Marsh et al. 1986; Bulthuis 1987). Marsh et al. (1986) melaporkan bahwa pada kisaran suhu 25 - 30°C fotosintesis bersih akan meningkat dengan meningkatnya suhu. Demikian juga respirasi lamun meningkat dengan meningkatnya suhu, namun dengan kisaran yang lebih luas yaitu 5-35°C. Pengaruh suhu juga terlihat pada biomassa Cymodocea nodosa, dimana pola fluktuasi biomassa mengikuti pola fluktuasi suhu (Perez dan Romero 1992). Penelitian yang dilakukan Barber (1985) melaporkan produktivitas lamun yang tinggi pada suhu tinggi, bahkan diantara faktor lingkungan yang diamati hanya suhu yang mempunyai pengaruh nyata terhadap produktivitas tersebut. Pada kisaran suhu 10­35 °C produktivitas lamun meningkat dengan meningkatnya suhu.

  1. Salinitas

Toleransi lamun terhadap salinitas bervariasi antar jenis dan umur. Lamun yang tua dapat menoleransi fluktuasi salinitas yang besar (Zieman 1986). Ditambahkan bahwa Thalassia ditemukan hidup dari salinitas 3,5-60 °°/o, namun dengan waktu toleransi yang singkat. Kisaran optimum untuk pertumbuhan Thalassia dilaporkan dari salinitas 24-35 °°/0. Salinitas juga dapat berpengaruh terhadap biomassa, produktivitas, kerapatan, lebar daun dan kecepatan pulih lamun. Pada jenis Amphibolis antartica biomassa, produktivitas dan kecepatan pulih tertinggi ditemukan pada salinitas 42,5 °°/o. Sedangkan kerapatan semakin meningkat dengan meningkatnya salinitas, namun jumlah cabang dan lebar daun semakin menurun (Walker 1985). Berbeda dengan hasil penelitian tersebut di atas, Mellors et al. (1993) dan Nateekarnchanalarp dan Sudara (1992) yang melakukan penelitian di Thailand tidak menemukan adanya pengaruh salinitas yang berarti terhadap faktor-faktor biotik lamun.

  1. Kekeruhan

Kekeruhan secara tidak langsung dapat mempengaruhi kehidupan lamun karena dapat menghalangi penetrasi cahaya yang dibutuhkan oleh lamun untuk berfotosintesis masuk ke dalam air. Kekeruhan dapat disebabkan oleh adanya partikel-partikel tersuspensi, baik oleh partikel-partikel hidup seperti plankton maupun partikel-partikel mati seperti bahan-bahan organik, sedimen dan sebagainya.
Erftemeijer (1993) mendapatkan intensitas cahaya pada perairan yang jernih di Pulau Barang Lompo mencapai 400 u,E/m2/dtk pada kedalaman 15 meter. Sedangkan di Gusung Tallang yang mempunyai perairan keruh didapatkan intensitas cahaya sebesar 200 uJ3/m2/dtk pada kedalaman 1 meter. Pada perairan pantai yang keruh, maka cahaya merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan produksi lamun (Hutomo 1997). Hamid (1996) melaporkan adanya pengaruh nyata kekeruhan terhadap pertumbuhan panjang dan bobot E. acoroides.

  1. Kedalaman

Kedalaman perairan dapat membatasi distribusi lamun secara vertikal. Lamun tumbuh di zona intertidal bawah dan subtidal atas hingga mencapai kedalaman 30 m. Zona intertidal dicirikan oleh tumbuhan pionir yang didominasi oleh Halophila ovalis, Cymodocea rotundata dan Holodule pinifolia, Sedangkan Thalassodendron

  1. Nutrien

Dinamika nutrien memegang peranan kunci pada ekosistem padang lamun dan ekosistem lainnya. Ketersediaan nutrien menjadi fektor pembatas pertumbuhan, kelimpahan dan morfologi lamun pada perairan yang jernih (Hutomo 1997). Unsur N dan P sedimen berada dalam bentuk terlarut di air antara, terjerap/dapat dipertukarkan dan terikat. Hanya bentuk terlarut dan dapat dipertukarkan yang dapat dimanfeatkan oleh lamun (Udy dan Dennison 1996). Dhambahkan bahwa kapasitas sedimen kalsium karbonat dalam menyerap fosfat sangat dipengaruhi oleh ukuran sedimen, dimana sedimen hahis mempunyai kapasitas penyerapan yang paling tinggi. Di Pulau Barang Lompo kadar nitrat dan fosfet di air antara lebih besar dibanding di air kolom, dimana di air antara ditemukan sebesar 45,5 uM (nitrat) dan 7,1118 uM (fosfet), sedangkan di air kolom sebesar 21,75 uM (nitrat) dan 0,8397 uM (fosfet) (Noor et al 1996). Penyerapan nutrien oleh lamun dilakukan oleh daun dan akar. Penyerapan oleh daun umumnya tidak terlalu besar terutama di daerah tropik (Dawes 1981). Penyerapan nutrien dominan dilakukan oleh akar lamun (Erftemeijer 1993). Mellor et al. (1993) melaporkan tidak ditemukannya hubungan antara faktor biotik lamun dengan nutrien kolom air.

3. Ekosistem Terumbu Karang

Adapun penutupan pada ekosistem terumbu karang di Desa Tapulaga dapat dilihat pada tabel 4 sebagai berikut:

1. Persentase Penutupan Terumbu Karang

Tabel 4. Cofer Penutupan Biotik, Abiotik dan Other pada Stasiun 6 di Desa Tapulaga

No

Persentase penutupan karang hidup atau hard coral (HC)

Persentase penutupan karang mati

Persentase penutupan oleh organisme lain (OT)

1

20 %

79,72 %

0.28 %

Berdasarkan hasil pengukuran penutupan karang di Desa Tapulaga, dengan panjang transek 50 meter yang sejajar garis pantai di dapatkan penutupan karang hidup atau hard Coral (HC) yaitu 20 %. Untuk penutupan karang mati dan organsime lainnya (anemon) masing-masing 79,72 % dan 0,28 %. Persentase penutupan life form untuk keadaan ini dikatanakan sangat rendah. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Amrullah (2007), yang menyatakan bahwa persentasi penutupan lifeform ini dikatakan rendah karena berada diantara range 11-30 % dan dikatakan tinggi apabila mencapai 76-100 %. Sedangkan persent penutupan karang mati sangat tinggi karena berada pada kisaran 79,72 %.

Dari hasil yang di dapatkan di atas diindikasikan bahwa ekosistem terumbu karang yang ada di desa Tapulaga sangat memperhatinkan. Penyebab kerusakan ini diantaranya masih banyak kegiatan penangkapan ikan yang menggunakan bom di area terumbu karang, kemudian banyak sedimen yang masuk keperairan karena 2 ekosistem diatasnya yaitu mangrove dan lamun juga rusak yang kurang mengatasi permasalahan sedimentasi yang berasal dari darat.

2. Organissme yang bersimbiosis

Komposisi biota terumbu karang beraneka ragam avertebrata (hewan tak bertulang belakang) : terutama karang batu (stony coral), juga berbagai krustasea, siput dan kerang-kerangan, ekinodermata (bulu babi, anemon laut, teripang, bintang laut dan leli laut).

Beraneka ragam ikan : 50-70% ikan karnivora oportunistik, 15% ikan herbivora dan sisanya omnivora. Reptil umumnya ular laut dan penyu laut. Ganggang dan rumput laut algae koralin, algae hijau berkapur dan lamun.

Ada beberapa intraksi yang terjadi pada ekosisten terumbu karang antara lain Persaingan memperoleh ruang Antara karang batu dengan Karang lunakserta koloni karang batu dengan Koloni bulu babi Persaingan memperoleh makanan. Pemangsaan karang oleh predatornya (Acanthaster planci, Chaetodontidae, Tetraodontidae). Pengendalian/pengaturan invasi ruang alga melalui konsumsi ikan herbivor (Acanthuridae, Scaridae). Intraksi komensalisme yaitu hubungan yang erat antara ikan pembersih dengan inangnya. Intraksi mutualisme yaitu hubungan yang erat antara karang batu dengan zooxanthellae, anemon dengan ikan giru (Amphiprion atau Premnas), ikan Pomacentridae dengan koloni karang batu, dan lain-lain.

3. Faktor Lingkungan

a. Suhu

Secara global, sebarang terumbu karang dunia dibatasi oleh permukaan laut yang isoterm pada suhu 20 °C, dan tidak ada terumbu karang yang berkembang di bawah suhu 18 °C. Terumbu karang tumbuh dan berkembang optimal pada perairan bersuhu rata-rata tahunan 23-25 °C, dan dapat menoleransi suhu sampai dengan 36-40 °C.

b. Salinitas

Terumbu karang hanya dapat hidup di perairan laut dengan salinitas normal 32­35 ‰. Umumnya terumbu karang tidak berkembang di perairan laut yang mendapat limpasan air tawar teratur dari sungai besar, karena hal itu berarti penurunan salinitas. Contohnya di delta sungai Brantas (Jawa Timur). Di sisi

lain, terumbu karang dapat berkembang di wilayah bersalinitas tinggi seperti Teluk Persia yang salinitasnya 42 %.

c. Cahaya dan Kedalaman

Kedua faktor tersebut berperan penting untuk kelangsungan proses fotosintesis oleh zooxantellae yang terdapat di jaringan karang. Terumbu yang dibangun karang hermatipik dapat hidup di perairan dengan kedalaman maksimal 50-70 meter, dan umumnya berkembang di kedalaman 25 meter atau kurang. Titik kompensasi untuk karang hermatipik berkembang menjadi terumbu adalah pada kedalaman dengan intensitas cahaya 15-20% dari intensitas di permukaan.

d. Kecerahan

Faktor ini berhubungan dengan penetrasi cahaya. Kecerahan perairan tinggi berarti penetrasi cahaya yang tinggi dan ideal untuk memicu produktivitas perairan yang tinggi pula.

e. Paparan Udara (Aerial Exposure)

Paparan udara terbuka merupakan faktor pembatas karena dapat mematikan jaringan hidup dan alga yang bersimbiosis di dalamnya.

f. Gelombang

Gelombang merupakan faktor pembatas karena gelombang yang terlalu besar dapat merusak struktur terumbu karang, contohnya gelombang tsunami. Namun demikian, umumnya terumbu karang lebih berkembang di daerah yang memiliki gelombang besar. Aksi gelombang juga dapat memberikan pasokan air segar, oksigen, plankton, dan membantu menghalangi terjadinya pengendapan pada koloni atau polip karang.

g. Arus

Faktor arus dapat berdampak baik atau buruk. Bersifat positif apabila membawa nutrien dan bahan-bahan organik yang diperlukan oleh karang dan zooxanthellae, sedangkan bersifat negatif apabila menyebabkan sedimentasi di perairan terumbu karang dan menutupi permukaan karang sehingga berakibat pada kematian karang.

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan, simpulan yang dapat ditarik dari praktek lapang ini adalah:

  1. Kondisi ekologi ekosistem mangrove, habitat laum serta terumbu karang di Tapulaga khususnya sangat rendah. Jenis-jenis mangrove yang ditemukan adalah Sonneratia alba dengan nilai kerapatan rata-ratanya adalah 1,005 ind/m2. Organisme yang berasosiasi pada ekosistem mangrove adalah kerang-kerangan seperti burungo (Telescopium telescopium), kepiting bakau (Scylla serrata) dan Crassostrea sp., bivalvi, gastropda, semut dan burung.
  2. Jenis-jenis lamun yang ditemukan adalah Thalassia hemprici dengan nilai kepadatan rata-rata pada transek pertama 23 ind/m2, transek kedua 27 ind/m2, dan transek ketiga 18 ind/m2. Organisme yang berasosiasi pada ekosistem lamun adalah jenis fauna yang ditemukan yang berasosiasi pada transek pertama dan transek dua yaitu dari kelas Echinodermata yaitu bintang laut (Asteroidea) dan Gastropoda serta epifit dan makro alga yaitu Padina sp. dan Halimeda sp.
  3. Dari hasil pengukuran terumbu karang di Desa di temukan jenis pertumbuhan Coral Massive (CM) yang mendominasi perairan tersebut, ditemukan juga Coral Folios (FC), kemudian Coral Brancing (CB) dan Coral Submassive (CSM), damana di dapatkan penutupan karang hidup atau hard Coral (HC) yaitu 20 %. Untuk penutupan karang mati dan organsime lainnya (anemon) masing-masing 79,72 % dan 0,28 %.

B. Saran

Adapun saran yang dapat saya sampaikan pada kesempatank ini adalah sebaiknya alat praktek di buat dulu sebelum turun lapangan agar dalam praktek tidak mengalami gangaun dalam hal ini kita langsung praktek setiba dilapangan agar waktunya seefisien mungkin.

DAFTAR PUSTAKA

Admin, 2008. Ekosistem terumbu Karang. http://web.ipb.ac.id/~dedi_s/index. php?option=com_content&task=view&id=20&Itemid=48. Diakses Pada Tanggal 4 Desember 2009.

Bengen D.G., 2000. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PKSPL IPB. Bogor.

___________, 2002. Pedomen Teknik Pengenalan dan Pengelolaan Ekisistem Mangrove. IPB. Bogor.

___________, 2004. Mengenal dan Memelihara Mangrove. Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan IPB. Bogor.

Dahuri, R.J., Rais, S.P, Ginting dan M,S. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Pradya Paramitha. Jakarta.

Darman, 2009. Ekosistem Lamun. http://www.iwf.or.id/ekosistem.htm. Diakses Pada Tanggal 4 Desember 2009.

Departemen Kehutanan, 2002. Kebijakan Departemen Kehutanan dalam Pengelolaan Ekosistem Hutan Mangrove. Ditjen RLPS,

Hutabarat S., dan Evans M.S, 1986. Pengantar Oceanografi. UI-Press. Jakarta.

Hutomo, H., 1997. Padang Lamun Indonesia: Salah Satu Ekosistem Dangkal Yang Belum Banyak Dikenal. Puslitbang Oseanologi-LIPI. Jakarta. 33pp.

Kusmana C., 2002. Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem mangrove. Jakarta.

LPP Mangrove, 2008. Ekosistem Mangrove Di Indonesia. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove Indonesia. Jakarta

Nontji A., 1987. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.

________, 2002. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta : 105 – 114.

Odum P.E., 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Pangerang, U.K., 1998. Bahan Ajar Mata Kuliah konservasi Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo. Kendari.

Ramli M., Utama K. Pangerang, Dedy Oetama, 2006. Penuntun Praktikum Ekologi Laut Tropis. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo. Kendari.

Rusila Noor Y., M Khazali, I N.N. Suryadiputra, 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PKA/WI-IP, Bogor.

Setiono H., 1996. Kamus Oceanografi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya di Wilayah Pesisir Tropis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Taena A.F.M., 2000. Struktur Komunitas Organisme Bivalvia pada Daerah Hutan Mangrove Kelurahan Purirano kecamatan Kendari kota Kendari. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoelo. Kendari.

Wikipedia, 2008. Laut. http://id.wikipedia.org/wiki.laut. Diakses tanggal 29 Desember 2008.

Wikipedia, 2008 . Tropik. http://id.wikipedia.org/wiki.tropik. Diakses tanggal 29

Desember 2008.

LAMPIRAN

Lampiran 1. Analisis Data Ekosistem Mangrove

  • Kerapatan Jenis Mangrove

Di = ni

A

Keterangan : ni = Jumlah masing-masing jenis

A = Luas area plot pengamatan

∑N = Jumlah jenis

a. Jenis Mangrove : Soneratia alba (pedada, mangrove aplple), diamternya : 40cm

- Tipe akar : Cakar ayam

* Transek 10 x 10 m (Pohon) : Soneratia alba jumlah : 1 pohon

* Transek 5 x 5 m (Anakan) : -

* Transek 1 x 1 m (Semai) : 2 semai (tinggi = 15 cm)

b. Organisme yang berasosiasi

* Transek 10 x 10 m (Pohon) : Kepiting, Bivalvia, Gastropoda, Semut, Burung, Berungo (Telescopium-telescopium)

* Transek 5 x 5 m (Anakan) : -

* Transek 1 x 1 m (Semai) : Kepiting dan gastropoda

c. Jenis Subtrat

* Transek 10 x 10 m (Pohon) : Pasir berbatu

* Transek 5 x 5 m (Anakan) : Pasir berbatu

* Transek 1 x 1 m (Semai) : Pasir berbatu

Penyelesaian.

Pohon, Di = ni = 1 = 0,01

A 100

Semai, Di = ni = 2 = 2

A 1

Kerapatan Rata-rata = 0,01 + 2 = 0,67 ind/m2

3

Lampiran 2. Analisis Data Ekosistem Lamun

a. Stasiun I (transek 1)

Plot I : Thallasia Hemphricii, jumlah 13 Individu

Plot II : Thallasia Hemphricii, jumlah 7 Individu

Plot III : Thallasia Hemphricii, jumlah 3 Individu

Hewan yang brasosiasi yaitu bintang laut, 2 individu

b. Stasiun I (transek 2)

Plot I : Thallasia Hemphricii, jumlah 17 Individu

Plot II : Thallasia Hemphricii, jumlah 10 Individu

Plot III : Halimeda sp., jumlah 5 Individu

Hewan yang brasosiasi yaitu Gastropoda, 2 individu

c. Stasiun I (transek 3)

Plot I : Thallasia Hemphricii, jumlah 11 Individu

Plot II : Padina sp., jumlah 3 Individu

Plot III : Thallasia Hemphricii, jumlah 7 Individu

  • Kepadatan lamun

Keterangan : ni = Jumlah masing-masing jenis

A = Luas area plot pengamatan

Kepadatan Transek I : 7,7 ind/m2 (jenis Thallassi hemphricii)

Transek II : 10,7 ind/m2 ( jenis Thallassi hemphricii)

Transek III : 7 ind/m2 (jenis Thallassi hemphricii)

Lampiran 3. Analisis Data Ekosistem Terumbu Karang

C = (a / A ) x 100 % Dimana : C = Persentase penutupan lifeform i

a = panjang transek lifeform i

A= Panjang total transek

CSM

31

SD

377

CSM

64

SD

25

CSM

57

OT

14

CSM

97

SD

19

CSM

27

SD

11

CSM

38

SD

404

RB

115

CF

404

SD

105

RB

53

CM

11

SD

143

RB

40

CM

8

DCA

37

SD

26

DCA

34

CM

10

DCA

14

CM

46

DCA

35

SD

30

RB

44

CM

31

DCA

35

CM

34

RB

101

SD

150

CB

110

SD

960

RB

287

CM

17

DCA

27

RB

79

DCA

29

SD

158

CM

15

DCA

53

SD

336

DCA

58

RB

110

SD

91

1. Persentase Penutupan Karang hidup atau Hard Coral (HC)

CB

110

CF

404

CM

11

CM

8

CM

10

CM

46

CM

31

CM

34

CM

17

CM

15

CSM

31

CSM

64

CSM

57

CSM

97

CSM

27

CSM

38

1000

HC = Jumlah Penutupan HC x 100%

Panjang transek

= 1000 x 100%

5000

= 20%

2. Persentase Penubutupan Karang Mati

DCA

37

DCA

34

DCA

14

DCA

35

DCA

35

DCA

27

DCA

29

DCA

53

DCA

58

322

RB

115

RB

53

RB

40

RB

44

RB

101

RB

287

RB

79

RB

110

829

SD

377

SD

25

SD

19

SD

11

SD

404

SD

105

SD

143

SD

26

SD

30

SD

150

SD

960

SD

158

SD

336

SD

91

2835

KM = Jumlah Penutupan KM x 100%

Panjang transek

= 322 + 829 + 2835 x 100%

5000

= 79,72%

3. Penutupan Organisme lain (OT)

OT

14

0.28

OT = Jumlah Penutupan KM x 100%

Panjang transek

= 14 x 100%

5000

= 0,28%

Lampiran 4. Klasifikasi Jenis Mangrove

Klasifikasi beberapa jenis lamun menurut Saenger (2000), adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Angiospermae

Subkelas : Monocotyledonae

Ordo : Magnolialis

Famili : Sonneratiaceae

Genus : Sonneratia

Species : Sonneratia alba

Lampiran 5. Klasifikasi Masing-masing Jenis Lamun

Klasifikasi beberapa jenis lamun menurut Phillips dan Menez (1988), adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Anthophyta

Kelas : Angiospermae

Subkelas : Monocotyledonae

Ordo : Helobiae

Famili : Hydrocharitaceae

Genus : Thalassia

Species : Thalassia hemprichii

Lampiran 6. Gambar Jenis Mangrove dan Lamun Yang Ditemukan Serta Fauna Yang Berasosiasi Pada Ekosistem Lamun

IMG0513A

Gambar daun dan buah Sonneratia alba

Gambar Thalassia hemprichii

IMG0510A

Gambar Padina sp.

IMG0511A

Gambar Halimeda sp.

IMG0512A

Gambar fauna yang berasosiasi pada ekosistem lamun

0 komentar: