Sabtu, 27 Maret 2010

konservasi (kawasan konservasi laut di sulawesi tenggara

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Kawasan konservasi yang berupa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam mengemban fungsi pengawetan jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dengan cara membiarkan populasi semua jenis tumbuhan dan satwa tetap seimbang menurut proses alami di habitatnya. Fungsi strategis lain yang diemban adalah sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan. Kawasan suaka alam terdiri dari cagar alam (CA) dan suaka margasatwa (SM), sedangkan kawasan pelestarian alam dapat berupa taman nasional (TN), taman hutan raya (TAHURA), dan taman wisata alam (TWA). Kawasan konservasi ini dapat berupa kawasan konservasi daratan, maupun perairan (laut).
Propinsi Sulawesi T enggara memiliki 10 kawasan konservasi daratan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan seluas 245.519,36 hektar, dan 1 kawasan konservasi laut seluas 1.390.000 Ha. Kawasan konservasi yang telah ditetapkan adalah CA Lamedae, SM Tanjung Peropa, SM Tanjung Batikolo, TN Rawa Aopa Watumohai, dan TWA Tirta Rimba Air Jatuh. Sedangkan yang masih berstatus penunjukan adalah CA Napabalano, SM Tanjung Amolengo, SM Buton Utara, TN Kepulauan Wakatobi, Tahura Murhum, dan TWA Mangolo
Selain kawasan konservasi di atas, berdasarkan TGHK terdapat 2 kawasan konservasi daratan yakni CA Kakinauwe seluas 810 hektar dan SM Lambusango seluas 28.510 ha yang keduanya terletak di Kabupaten Buton (Berita Acara Tata Batasnya telah disahkan oleh Direktur Jenderal INTAG atas nama Menteri Kehutanan pada tanggal 6 Nopember 1995).
Beberapa kawasan masih dalam tahap pengusulan untuk ditunjuk atau ditetapkan sebagai kawasan konservasi, yakni TWA Wakonti seluas 1.000 hektar di Kab. Buton (sebagai perluasan TWA Tirta Rimba Air Jatuh), TWA Laut Teluk Lasolo di Kab. Kendari seluas 81.800 hektar, dan TWA Laut Kepulauan Padamarang di Kab. Kolaka seluas 36.000 hektar.
Luas total kawasan konservasi daratan, baik yang sudah ditunjuk, ditetapkan, maupun yang masih dalam tahap pengusulan adalah 280.839,36 hektar atau 7,36% dari luas daratan propinsi, sedangkan untuk perairan (laut) adalah seluas 1.507.800 hektar atau 13,71% dari luas perairan (laut) propinsi.
Kecuali potensi flora dan fauna, kawasan konservasi di Sulawesi Tenggara memiliki berbagai tipe ekosistem, yakni ekosistem mangrove, dataran rendah, savana, dan ekosistem rawa, serta ekosistem perairan (laut).
Meskipun memiliki fungsi yang penting sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan dan pengawetan plasma nutfah, kawasan konservasi sering mendapat tekanan dan gangguan dari masyarakat. Secara umum jenis gangguan yang sering terjadi adalah .perambahan kawasan baik untuk peladangan maupun pemukiman (misalnya di TN Rawa Aopa Watumohai, Tahura Murhum dan TWA Mangolo), pemungutan rotan di dalam kawasan ( terjadi antara lain di TN Rawa Aopa Watumohai, dan CA Lamedae), penambangan liar, perburuan (terutama satwa rusa/jonga), penebangan kayu, dan penangkapan satwa untuk diperdagangkan atau dikoleksi (berbagai jenis burung), dan pembakaran disengaja. Gangguan dan tekanan tersebut dapat mengakibatkan merosotnya mutu lingkungan dan rusaknya habitat flora dan fauna, sehingga mengancam kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Berbagai kegiatan untuk menekan gangguan tersebut telah dan akan terus ditingkatkan, berupa patroli dan operasi pengamanan hutan secara terpadu sampai dengan upaya mempidanakan pelanggar ke meja hijau, tata batas dan pengukuhan kawasan, penyuluhan, pembentukan dan pembinaan kader konservasi dan pecinta alam, serta pembinaan daerah penyangga dengan pemberian bantuan usaha pengembangan ekonomi desa-desa sekitar kawasan.
Kegiatan penataan batas kawasan telah dilaksanakan pada:
1) SM Tg. Peropa Tahun 1985/1986, panjang batas 194,700 km, jumlah pal 1.469 buah
2) TN Rawa Aopa Watumohai Tahun 85/86 dan 86/87, panjang batas 331,603 km, jumlah pal 4.150 buah
3) TWA Tirta Rimba / Air Jatuh Tahun 1986/1987, panjang batas 9,353 km, jumlah pal 61 buah
4) CA LamedaeTahun 1986/1987, panjang batas 10,717 km, jumlah pal 120 buah
5) SM Tg. Batikolo Tahun 1989/1990, panjang batas 42,175 km, jumlah pal 421 buah
6) CA Kakinauwe Tahun 1989/1990, panjang batas 7,972 km, , jumlah pal 89 buah
7) SM Lambusango Tahun 1989/1990, panjang batas 17,214 km, jumlah pal 1.061 buah
1.2. Tujuan dan Manfaat
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji kawasan konservasi yang ada di Propensi Sulawesi Tenggara. Adapun menfaat dari pembuatan makalah ini adalah mahasiswa dapat mengetahui latar belakang, tujuan dan permasalahan konkonservasi dari suatu kawasan di sulawesi tenggara.

BAB II. PEMBAHASAN
2.1. Taman Nasional Kepulauan Wakatobi
A. Dasar Hukum, Letak, dan Luas
Taman Nasional Kepulauan Wakatobi merupakan kawasan konservasi perairan laut (marine conservation area). Kawasan Kepulauan Wakatobi dan perairan laut di sekitarnya seluas 1.390.000 ha ditunjuk sebagai taman nasional pada tanggal 30 Juli 1996 berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 393/Kpts-VI/1996. Nama Wakatobi diambil dari singkatan nama pulau-pulau besar yang menyusun kepulauan ini, yakni Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko, nama lain dari gugusan pulau-pulau tersebut adalah Kepulauan Tukang Besi.
Usulan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi bermula dari hasil survey penilaian potensi sumber daya alam laut yang dilaksanakan oleh Tim Direktorat Pelestarian Alam. Direktorat Jenderal PHPA Departemen Kehutanan bekerjasama dengan WWF (World Wide Fund for Nature) pada bulan September 1989. Hasil survey tersebut ditindaklanjuti oleh Sub Balai KSDA Sultra dan Kanwil Dep. Kehutanan Sulawesi Tenggara dengan dukungan penuh Pemerintah Daerah, dengan diterbitkannya Rekomendasi Bupati KDH Tk. II Buton No. 522.51/3226 tanggal 3 Oktober 1993 dan Rekomendasi Gubernur KDH Tk. 1 Sulawesi Tenggara No. 522.51/2548 tanggal 7 Maret 1994. Berdasarkan usulan atau rekomendasi pemerintah daerah tersebut. Menteri Kehutanan menyetujui dan menunjuk kawasan perairan laut Kep. Wakatobi seluas 306.680 ha sebagai taman wisata alam laut dengan SK Nomor 462/Kpts-II/1995 tanggal 4 September 1995, dan akhirnya karena pertimbangan dari aspek konservasi serta perkembangan keadaan maka status kawasan diubah menjadi taman nasional.
Latar belakang penunjukannya sebagai kawasan konservasi adalah karena wilayah perairan laut Kepulauan Tukang Besi/Wakatobi memiliki potensi sumber daya alam laut yang sangat tinggi, baik jenis dan keunikannya. serta panorama bawah laut yang menakjubkan. Pertimbangan lainnya adalah karena Sulawesi Tenggara belum memiliki kawasan konservasi perairan laut yang telah ditunjuk. Tidak sampai berselang satu tahun dari saat penunjukannya. TN Kep. Wakatobi telah ditetapkan sebagai Unit Taman Nasional berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.185 / Kpts-II / 1997 tanggal 31 Maret 1997 (tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional dan Unit Taman Nasional). Hal ini menunjukkan perhatian yang besar dari Pemerintah kepada kawasan konservasi ini.
Secara geografis TN Kep. Wakatobi terletak di antara 5°12 - 6°10' LS dan 123°20 -124°39 BT secara administratif pemerintahan termasuk dalam wilayah 4 kecamatan yakni Wangi Wangi (dengan ibukota kecamatan di Wanci), Kaledupa (beribukota di Ambeua), Tomia (Waha), dan Binongko (beribukota di Rukuwa) Kabupaten Dati II Buton. Sedangkan secara administratif kehutanan masuk dalam wilayah kerja RPH Lasalimu. BKPH Buton Timur, KPH Buton. Sesuai dengan geografisnya di sebelah Utara dibatasi oleh Laut Banda dan P. Buton di sebelah Timur dibatasi oleh Laut Banda. di sebelah Selatan dibatasi oleh Laut Flores, dan di sebelah Barat dibatasi oleh P. Buton dan Laut Flores.






B. Potensi
Bentuk topografi daerah Kep. Tukang Besi umumnya datar dan di sekitarnya terdapat beberapa mikro attol seperti Karang Kapota, Karang Kaledupa, dan Karang Tomia. Konfigurasi terumbu karang pada umumnya datar kadang-kadang muncul di permukaan dengan beberapa daerah mempunyai tubir-tubir karang yang tajam. Kepulauan Tukangbesi terdiri dari 4 pulau besar (Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko), dan pulau-pulau kecil antara lain P. Tokobao, P. Lintea Utara, P. Lintea Selatan, P. Kampenaune, dan P. Hoga serta P. Tolandono.
Perairan lautnya secara umum mempunyai konfigurasi perairan dari mulai datar kemudian melandai ke arah laut, dan beberapa daerah perairan bertubir curam. Kedalaman airnya bervariasi, dengan bagian terdalam terletak di sebelah Barat dan Timur P. Kaledupa (sampai 1.044 m). Dasar perairan bervariasi antara berpasir dan berkarang.
Iklim berdasarkan pembagian iklim Schmidt-Fergusson termasuk tipe C, dengan curah hujan tahunan bervariasi antara 1.050-2.200 mm. Bulan-bulan kering jatuh pada bulan Juli hingga Nopember. Suhu harian berkisar antara 19° -34° C.
TN Kepulauan Wakatobi memiliki potensi terumbu karang serta berbagai jenis biota laut seperti kima, lola, ikan, penyu, serta jenis-jenis lainnya
a. Terumbu karang. Beberapa daerah terumbu karang yang ada antara lain Karang Sempora, K. Kapota, K Watulopa, K. Sawa Olo-Olo, K. Tokobau, dan Karang Waelale. Jenis-jenis karang yang ditemukan antara lain Acrophora spp, Dendrophyllia spp., Favia abdita, Echinopora horrida, Favites spp, Heliofungia actiniformis, Holothuria edulis, Lobophylla spp., Montastrea spp., Mycedium spp., Millepora spp, Nepthea spp., Oulophylla crispa, Oxypora spp., Pavona clavus, P decussata, Platygira lamellina, P. pini, Porites spp., Porithes spp., Spirobranchus giganteus, Symphyllia spp, Turbinaria frondens, Xenia spp, dan lain-lain.
b. Karang lunak. Jenis soft corals yang terlihat antara lain Sarcophyton throcheliophorum, Sinularia spp.
c. Ikan. Jenis ikan yang terlihat antara lain Abudefduf leucogaster, A. saxatilis, Acanthurus achilles, A. aliosa, A. mata, Amphiprion tricinctus, Chaetodon specu!lum, Chelinus undulatus, Chelmon rostratus, Heniochus acuminatus, H. permutatus, Macolor macularis (snapper), Napoleon wrasse, Paramia quinquelineata, Scarus qibbus, S. taeniurus, dan masih banyak lagi.
d. Bivalvia yang terlihat adalah Tridacna spp.
e. Crinoidea yang terlihat adalah Comanthina schlegeli, Lily laut.
f. Ordo Echinodea yang terlihat adalah Acanthaser planci, Diadema setosum, Echinotrix spp., Holothuria edulis, Parathicopus californicus, Stichopus variegatus.
g. Spons yang terlihat adalah Tube sponges dan Cube sponges, Phyllospongia foliascens.
h. Rumput laut. Jenis seagrass yang terlihat antara lain Thallisia spp., T. crocea, dan Thalasodendron spp.

Terumbu karang dan ikan hias yang berenang di sekitarnya merupakan atraksi yang menarik untuk dinikmati. Daerah wisata yang direkomendasikan adalah di Pulau Hoga dan sekitarnya, dengan pasir putih dan terumbu karang yang indah. Pengunjung dapat melakukan kegiatan berjemur (sunbathing), snorkling/skin diving, berenang atau menyelam (diving). Di Pulau Hoga telah dibangun fasilitas berupa, wisma tamu dengan arsitektur rumah adat Buton yang dibangun Pemerintah Daerah, serta beberapa pondok wisata.
C. Cara Pencapaian
Untuk mencapai Pulau Hoga dapat ditempuh lewat perjalanan laut dengan beberapa alternatif, yaitu :
a. Kendari ke Pulau Hoga via P. Wangi-Wangi (Wanci), dengan kapal kayu yang berangkat dari pelabuhan Kendari 2 kali seminggu. Waktu tempuh ± 15 jam.
b. Kendari ke Bau-Bau (Buton) via Raha (Muna) dengan kapal cepat (± 4 jam) dilanjutkan dengan naik kapal ke Wanci dengan kapal kayu (± 3 jam) atau speed boat carteran (± 4 jam langsung ke P. Hoga).



D. Kegiatan dan Permasalahan
Permasalahan yang dihadapi Taman Nasional Wakatobi berupa
a. penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan racun cyanida (NaCN atau KCN). Cara penangkapan yang tidak bijaksana ini dapat menghancurkan terumbu karang serta biota laut lainnya.
b. penangkapan/pemungutan biota laut yang dilindungi, seperti penyu hijau, penyu sisik, kima, lola, dll. Apabila dibiarkan akan mengganggu kelestariannya
c. pemungutan batu karang untuk pondasi dan barikade pantai.
d. belum dikelola secara intensif, saat ini hanya dikelola oleh 3 personil dengan fasilitas 1 buah speed boat (80 PK)
e. belum ada penetapan zonasi, yang berupa zona inti, zona pemanfaatan zona pemanfaatan tradisional, dll
Guna mengatasi permasalahan tersebut telah dilaksanakan operasi pengamanan, baik fungsional maupun terpadu (dengan wadah TPHT Daerah). Operasi pengamanan khusus TN Wakatobi yang dipimpin oleh Komandan Pangkalan AL (Lanal) Kendari berhasil menjaring beberapa pelaku pemboman ikan. Untuk menimbulkan efek jera tersangka pelaku pemboman ikan tersebut telah diproses dan diajukan ke meja hijau.
Untuk menjaga kelestarian serta mengoptimalkan fungsi kawasan direncanakan pembangunan/pengadaan sarana prasarana, berupa Pusat Pengelolaan di Bau-Bau (ibukota Kabupaten Buton), pondok kerja di Pulau Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko, pembangunan wisma cinta alam, pengadaan speed boat ber-PK besar untuk mengatasi pencurian dan pengeboman ikan, serta pengadaan alat komunikasi. Dan untuk mengatasi kendala transportasi direncanakan pembangunan lapangan terbang kecil (airstrip) di Pulau Kaledupa. Diusulkan pula kegiatan penyusunan Rencana Pengelolaan TN Wakatobi yang akan menjadi acuan/pedoman pengelolaan jangka panjang (25 tahun), serta studi dalam rangka penetapan zonasi.
Beberapa kegiatan lain yang pernah dilaksanakan antara lain survey potensi sumber daya alam laut oleh Tim Direktorat Pelestarian Alam, Ditjen PHPA pada tahun 1990; penelitian oleh Tim Operasi Wallacea (kerjasama antara Eco Survey dari Inggris dan LIPI dengan koordinasi Badan Pengembangan Wallacea) dari bulan Juni 1995 sampai sekarang; expedisi oleh Tim dari Universitas Indonesia; penelitian oleh Tim Peneliti Kelautan dari P3O-LIPI; dan eksplorasi oleh empu kelautan dunia asal Perancis Jaques-Yves Cousteau (alm).
Taman Nasional Wakatobi juga mendapat kehormatan dikunjungi oleh pejabat-pejabat pusat, antara lain oleh Ketua DPA (Laks. Pur. Sudomo) pada tahun 1995, Menteri Kehutanan (Ir. Djamaludin Suryo Hadikusumo) bersama Menteri Negara Lingkungan Hidup (Ir. Sarwono Kusuma Atmaja) pada tahun 1996.
Beberapa pakar kelautan yang pernah melakukan penelitian menyebutkan bahwa terumbu karang di Kep. Wakatobi merupakan salah satu yang terindah di dunia (The world's most beautiful reefs).
2.2. TAMAN WISATA ALAM LAUT P. PADAMARANG
A. Dasar Hukum, Letak, dan Luas
Kawasan perairan Pulau Padamarang dan sekitarnya seluas ± 36.000 ha diusulkan untuk dijadikan taman wisata alam laut dengan terbitnya Rekomendasi Gubernur KDH Tk. I Sultra No. 521.51/2221 tanggal 10 Juni 1997 dan SK Bupati KDH Tk. II Kolaka No 522.3/30/96 pada bulan Pebruari 1996, dan telah diusulkan penunjukannya kepada Menteri Kehutanan dengan surat Kakanwil Dep. Kehutanan Prop. Sultra No. 1117/Kwl-5/96 tanggal 28 Juni 1996. Latar belakang pengusulannya adalah karena perairan P. Padamarang memiliki potensi sumber daya alam laut yang tinggi serta mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan sebagai tempat wisata bahari.
Pulau-pulau yang membentuk kepulauan ini adalah Pulau Padamarang (± 80 ha), P. Lambasina Besar (± 280 ha), P Lambasina Kecil (± 80 ha), P. Lemo (± 30 ha), P. Iju (± 5 ha), P. Lima (± 5 ha), P. Maniang (± 500 ha), P. Kukusan (± 110 ha), dan Pulau Buaya (± 140 ha). Pulau Maniang, P. Buaya, P. Kukusan, dan P. Lemo merupakan wilayah pengelolaan (konsesi) dari PT. Aneka Tambang Unit Nikel Pomalaa.
Secara geografis TWAL P. Padamarang terletak di antara 4°02'52" - 4°10'42" Lintang Selatan dan 121°19'02" - 121°32'33" Bujur Timur, secara administratif pemerintahan termasuk wilayah Kecamatan Wundulako, Kabupaten Dati II Kolaka. Sedangkan secara administratif kehutanan termasuk dalam wilayah RPH Pomalaa, BKPH Mekongga, KPH Kolaka. Gugusan pulau ini terletak di Teluk Wapongga di sebelah Barat Jazirah Sulawesi Tenggara dengan batas-batas kawasan adalah: di sebelah Utara berbatasan dengan Teluk Pao-Pao, sebelah Timur dengan daratan jazirah Sulawesi Tenggara, di sebelah Selatan dan Barat berbatasan dengan Teluk Bone. Kepulauan Padamarang dapat terlihat saat menyeberangi Teluk Bone dengan ferry regular Kolaka-Bajoe.
B. Potensi
Gugusan Kepulauan Padamarang memiliki bentuk topografi datar sampai berbukit, dengan kemiringan atau kelerengan 8% hingga 20%. Di beberapa pulau ditemukan tempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 200 m (dpl), yaitu di Pulau Maniang (222 m dpl), dan Pulau Padamarang (terdapat 4 tempat yang mencapai ketinggian 325 m sampai dengan 702 m (dpl)). Jenis tanahnya termasuk kompleks alluvial mediteran merah kuning, dan podzolic yang umumnya mudah longsor.
Gugusan pulau ini memiliki ekosistem terumbu karang di wilayah perairan lautnya. Struktur terumbu karang itu secara umum dapat digolongkan ke dalam tipe terumbu karang tepi (fringing reef). Perairan lautnya memiliki kedalaman mencapai lebih kurang 60 m. Hampir sebagian besar dari pantai dan perairan lautnya memiliki substrat pasir yang menghasilkan bentukan topografi pantai yang indah, khususnya pada daerah pantai yang berhadapan dengan laut lepas.
Berdasarkan tipe iklim Schmidt & Fergusson Kep. Padamarang memiliki tipe iklim A, dengan curah hujan 2.000 mm/tahun dan jumlah hari hujan 125 hari/tahun dan intensitas curah hujannya sebesar 36,5 %. Temperatur maksimum antara 30°-32° C dan temperatur udara minimum antara 18°-24° C. Musim hujan terjadi antara bulan Oktober samapai Maret dan musim kemarau antara bulan April sampai dengan bulan September.
Menurut hasil survey potensi yang dilaksanakan oleh Direktorat Pelestarian Alam, Ditjen PHPA pada tahun 1991, di perairan Kep. Padamarang dan sekitarnya dijumpai potensi sumber daya alam laut yaitu terumbu karang (16 species), ikan karang atau ikan hias (13 species), ikan konsumsi (17 species), moluska (14 jenis), dan rumput laut (8 jenis).
a. Karang. Secara umum jenis karang yang mendominasi ekosistem terumbu karang di daerah ini adalah Acropora spp., dan Porites spp. Beberapa jenis karang yang ada merupakan biota yang dilindungi oleh CITES, seperti Seriatopora spp., Pocil/opora app., Stylopora spp., Acropora spp., Pavona spp., Fungia sp., dan Heliopora sp.
b. Ikan karang. Jenis-jenis ikan hias yang ditemui antara lain Abudefduf sp., Acanthurus sp., Amphiprion sebal, Chaetodon spp., Chaetodonplus sp., Centropyge sp., Drephane sp., Labroides sp., Lethrinus spp., Pomachantus sp., Zebrasoma sp., dan jenis lainnya. Sedangkan jenis ikan konsumsi yang ada antara lain cakalang (Scomberomorus sp.), tuna (Tuna salbatoru), tongkol (Karsuwonus sp.), layang (Decapterus sp.), bambangan (Lutjanus sp.), kuwe (Caranx sp.), selar (Selar sp.), belanak (Mugil sp.), ekor kuning (Caesio sp.), lemuru (Sardinella sp.), manyung (Tachysurus sp.), lencam (Lethrinus sp.), kakap (Lates sp.), cumi-cumi (Eutherynus sp.), gurita (Octopus sp.) dan ubur-ubur (Rhopilana sp.).
c. Moluska. Secara garis besar hewan lunak yang ada dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu Gastropoda dan Palecypoda. Beberapa jenis moluska yang ditemukan merupakan biota yang dilindungi, seperti kima raksasa (Tridacna gigas), kima sisik (T. squamosa), kima kecil (T. maxima), kima tapak kuda (Hippopus hippopus), kepala kambing (Cassis cornuta), siput hijau (Turbo marmoratus), dan troka (Trochus niloticus).
d. Rumput laut. Jenis-jenis seagrass yang ditemukan antara lain Caulerpa taxifolia, Eucheuma spp., Gelidium sp., Gracilaria spp., Halimeda sp., Hypnea sp., dan Turbinaria sp. Jenis Gracillaria sp., Eucheuma sp., dan Hypnea sp. merupakan jenis rumput laut yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi.
e. Echinodermata. Jenis-jenis hewan berkulit duri yang ditemukan antara lain teripang (Holothuria atra, H. argus impatiens, H. scaraba. H. vagabunda, Mueliria lecanora, Stichopus ananas), bulu babi (Diadema setosum, Diadema sp.), bintang laut putih dan bintang laut biru, serta bintang bantal.
f. Crustacea. Jenis udang-udangan yang ditemukan antara lain Charybdis cruciata, Panulirus dasyprus, P. versicolor (udang barong), Portunus pelagius, Phodopthalmus sp., dan Thalamita danae.
g. Vegetasi pantai. Jenis vegetasi pantai yang dapat dikelola adalah cemara laut (Casuarina equisetifolia), waru (Hibiscus tiliaceus), putat laut (Baringtonia asiatica), nyamplung (Callophyllum inophyllum), cantigi (Vaccinium sp.), beringin laut (Ficus sp.), dan kayu buta-buta.
h. Jenis satwa air lain yang dijumpai adalah penyu hijau (Chelonia midas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), dan berbagai jenis burung air.
C. Cara Pencapaian
Pulau Padamarang merupakan alur pelayaran ferry yang menghubungkan kota Bajoe (Sulawesi Selatan) dengan kota Kolaka (Sulawesi Tenggara) dengan frekuensi penyeberangan 3 kali sehari. Taman Laut P. Padamarang dapat dicapai dengan cara:
Dari Kendari ke Kolaka melalui jalan darat sepanjang kurang lebih 170 km, dengan waktu tempuh sekitar 3 sampai 4 jam. Dari Kolaka dengan speed boat 45 PK (carter) selama kurang lebih 2 jam.
Kegiatan wisata yang dapat dilaksanakan di taman laut ini berupa menyelam (diving) dan snorkling untuk menikmati keindahan terumbu karang dan ikan-ikan hias, boating, dan berkemah di Pulau Padamarang (terdapat sumber air tawar).
D. Kegiatan dan Permasalahan
Permasalahan pokok yang dihadapi berupa penangkapan ikan dengan bahan peledak dan racun, pengambilan terumbu karang, dan pemanfaatan biota laut langka. Hal ini terus diatasi dengan melakukan penyuluhan serta koordinasi dengan Instansi terkait. Status kawasan belum ada penunjukan/penetapannya dari Menteri Kehutanan.
Untuk melindungi habitat pohon cantigi pantai (Vaccinium sp.) yang langka, Sub Balai KSDA Sulawesi Tenggara merencanakan pembentukan cagar alam di sebagian wilayah daratan Pulau Padamarang. Kegiatan yang pernah dilaksanakan antara lain survey potensi sumber daya alam laut oleh Tim dari Direktorat Pelestarian Alam, Ditjen PHPA pada bulan Agustus-September 1991.
Di lekuk Pulau Padamarang sedang diujicobakan budidaya mutiara oleh CV Cahaya Cemerlang Ujung Pandang. Diharapkan dengan adanya kegiatan tersebut kerusakan karang akibat pemboman ikan dapat dicegah.


2.3. SUAKA MARGASATWA TANJUNG BATIKOLO
A. Dasar Hukum, Letak, dan Luas
Suaka Marga Satwa Tanjung Batikolo ditetapkan berdasarkan SK. Menteri Kehutanan Nomor 425/Kpts-II/1995 tanggal 18 Agustus 1995. Sebelumnya telah ditunjuk dengan Keputusan Menteri Pertanian No. 844/Kpts/Um/11/1980 tanggal 25 Nopember 1980, memperhatikan Rekomendasi Gubernur KDH Tk. I Sulawesi Tenggara No. Pta. 4/1/11 tanggal 16 Januari 1973, dan surat Dirjen Kehutanan No. 3688/DJ/I/1980 tanggal 25 Oktober 1980. Dasar atau latar belakang penunjukan adalah karena kelompok hutan Tg. Batikolo merupakan perwakilan ekosistem hutan hujan tropika dengan tipe vegetasi hutan non Dipterocarpaceae, hutan belukar, hutan pantai, dan hutan bakau, serta merupakan habitat berbagai jenis tumbuhan dan satwaliar dilindungi.
Geografis terletak antara 4°29' -4°35' LS dan 122°41' -122°45' BT, secara administrative pemerintahan termasuk wilayah Desa Rumba-Rumba, Kecamatan Lainea, Kab. Kendari. Sedangkan secara adminstatif kehutanan termasuk dalam wilayah RPH Lainea dan RPH Tanjung Polewali, BKPH Laiwoi Selatan, KPH Kendari.
Luas SM Tg. Batikolo adalah 4.060 ha, dengan batas-batas kawasan sebagai berikut sebelah Utara dengan Teluk Batikolo, sebelah Timur dengan Selat Buton, sebelah Selatan dengan Teluk Kolono, dan di sebelah Barat berbatasan dengan Desa Polewali. Panjang batasnya ± 42,175 km dengan pal batas berjumlah 421 buah (keliling).



B. Potensi
SM. Tanjung Batikolo terletak pada ketinggian a -400 m (dpl), dengan topografi datar hingga bergunung. Kelerengan 15-45 %. Jenis tanahnya podzolik coklat dan merah kekuning-kuningan. Tipe iklim C, musim hujan biasanya jatuh pada bulan Januari-Juni, sedangkan musim kemarau pada bulan Juli hingga Desember. Curah hujan tahunan sebesar 2815 mmltahun dengan kelembaban sebesar 80,3 %. Suhu tertinggi mencapai 33° C dan suhu terendah 23° C.
Tipe ekosistem yang ada adalah hutan bakau, hutan pantai, hutan belukar, hutan hujan tropika dataran rendah dengan vegetasi campuran non Dipterocarpaceae. Jenis tumbuhan yang ditemui antara lain beringin (Ficus benyamina), bayam (Intsia bijuga), kalapi (Kalappia celebica), gito-gito (Diospyros pilosantera), ponto (Utsea firma) dan eha (Castanopsis buruana).
Keanekaragaman tipe ekosistemnya dan jenis tumbuhan yang ada mendukung keberadaan satwaliar, diantaranya adalah anoa (Anoa depressicornis), rusa (Cervus timorensis), kus-kus (Phalanger sp.), kera hitam Sulawesi (Macaca ochreata), maleo (Macrochepalon maleo), biawak (Varanus sp) dan beberapa jenis burung seperti perkici hijau, dan betet Sulawesi.
Pemukiman terdekat adalah Desa Rumba-Rumba, sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, nelayan dan pedagang.
Kawasan konservasi ini dikelola oleh Resort KSDA Tg. Batikolo (3 personil) dengan fasilitas pengelolaan berupa pondok kerja di Batikolo, jalan setapak dalam kawasan sepanjang 6 km, dan pondok kerja di Amolengo berjarak ± 8 km.
SM Tg. Batikolo dapat dicapai dari Kendari dengan perjalanan darat melalui Punggaluku-Amolengo-Batikolo sejauh ± 140 km dengan lama perjalanan 2,5 -3 Jam. Atau perjalanan lewat laut dari pelabuhan Kendari ke lokasi dengan mengunakan johnson yang dapat ditempuh dalam waktu 3-4 jam. Waktu kunjungan yang terbaik adalah pada bulan Juli-Agustus yaitu pada musim kemarau. Kegiatan yang boleh dilakukan di dalam kawasan berupa kegiatan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata terbatas, dan kegiatan lain yang menunjang budidaya.
D. Kegiatan dan Permasalahan
Permasalahan yang dihadapi kawasan konservasi SM Tg. Batikolo berupa penebangan kayu, pencurian rotan, serta pemungutan telur Maleo.
Kegiatan yang pernah dilaksanakan adalah tata batas kawasan oleh Sub BIPHUT Kendari pada tahun 1989/1990.














BABA III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
berdasarkan uraian pembahasan diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. manfaat dari kawasan konservasi tersebut antara lain dapat dijadikan sebagai daerah perlindungan, penelitian, dan dapat dijadikan sebagai tempat wisata.
2. masalah-malah yang sering muncul dalam kawasan konservasi adalah tidak jelasnya penzonasian yakni antara zonasi pemanfaatan dan zonasi inti serta sosialisasi yang kurang tentang zona tersebut sehingga banyak terjadi pelanggaran oleh masyarakat setempat.
3.2. Saran
Saran saya sebaiknya kami para mahasiswa turun langsung ke tempat kawasan konservasi contoh di Wakatobi dan sebagainya, agar kami dapat melihat langsung apa yang menjadi permasalah di daerah tersebut.







Tugas
konservasi
(kawasan konservasi laut di sulawesi tenggara)









OLEH :
m a k w i n
I1A1 07 074




PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2009

0 komentar: