Sabtu, 27 Maret 2010

Fiswan (Laju Metabolisme) Laporan 2

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ikan merupakan hewan ektotermik yang berarti tidak menghasilkan panas tubuh, sehingga suhu tubuhnya tergantung atau menyesuaikan diri pada suhu lingkungan sekelilingnya. Ikan mempunyai derajat toleransi terhadap suhu dengan kisaran tertentu yang sangat berperan bagi pertumbuhan, inkubasi telur, konversi pakan dan resistensi terhadap penyakit. Ikan akan mengalami stress manakala terpapar pada suhu diluar kisaran yang dapat ditoleransi. Pada lingkungan perairan, faktor fisik, kimiawi dan biologis berperan dalam pengaturan homeostatis yang diperlukan bagi pertumbuhan dan reproduksi ikan. Perubahan-perubahan faktor tersebut hingga batas tertentu dapat menyebabkan stress dan timbulnya penyakit. Faktor fisik tersebut mencakup suhu, dan intensitas cahaya.
Suhu merupakan salah satu parameter kualitas air yang sangat penting dalam menunjang kehidupan organisme perairan. Pada suhu perairan yang tinggi aktifitas metabolisme akan meningkat sehingga pada kondisi demikian konsumsi oksigen akan bertambah pula, sedangkan kelarutan oksigen dalam air akan mengalami penurunan dengan bertambahnya suhu sehingga hal tersebut bisa saja menyebabkan kematian bagi organisme tertentu. Suhu media berpengaruh terhadap aktifitas enzim pencernaan. Pada proses pencernaan yang tadak sempurna akan dihasilkan banyak feses, sehingga banyak energi yang terbuang. Tetapi jika aktifitas enzim pencernaan meningkat maka laju pencernaan juga akan semakin meningkat, sehingga tingkat pengosongan lambung tinggi. Tingkat pengosongan lambung yang tinggi menyebabkan ikan cepat lapar dan nafsu makannya meningkat. Jika konsumsi pakan tinggi, nutrien yang masuk kedalam tubuh ikan juga tinggi, dengan demikian ikan memiliki energi yang cukup untuk pertumbuhan.
Ikan dalam proses pertumbuhannya, tidak semua makanan yang dimakan oleh ikan digunakan untuk pertumbuhan. Sebagian besar energi dari makanan digunakan untuk metabolisme, dan sebagiannya lagi digunakan untuk aktivitas, pertumbuhan dan reproduksi. Proses metabolisme dan faktor-faktor yang mempengaruhinya merupakan pengetahuan penting dalam pengembangan budidaya perikanan. Oleh karena itu, perlu diadakannya praktikum mengenai laju metabolisme ikan.
B. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengukur laju metabolisme Ikan Lele Dumbo (Clarias glariepinus) terhadap oksigen pada berbagai suhu media.
Sedangkan kegunaan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu yang merupakan salah satu parameter kualitas air yang dapat mempengaruhi laju metabolisme pada Ikan Lele Dumbo (C. glariepinus).


II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Klasifikasi
Klasifikasi Ikan Lele (Clarias glariepinus) menurut adalah Sudarto (2004). sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Pisces
Subclass : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Subordo : Siluroidae
Famili : Claridae
Genus : Clarias
Spesies : Clarias glariepinus.





Gambar 3. Ikan Lele (Clarias glariepinus).
(Sudarto, 2004).


Habitat atau lingkungan hidup lele (Clarias gariepinus) ialah air tawar. Meskipun air yang terbaik untuk memelihara lele ialah air sungai, air dari saluran irigasi, air tanah dari mata air, maupun air sumur, tetapi lele juga relative tahan terhadap kindisi air yang menurut ukuran kehidupan ikan dinilai kurang baik. Ikan lele (Clarias gariepinus) juga hidup dengan padat penebaran tinggi meupun pada kolam yang kadar oksigennya rendah karena lele (Clarias gariepinus) mempunyai alat pernafasan tambahan yang disebut labirin yang memungkinkan lele (Clarias gariepinus) mengambil oksigen langsung dari udara untuk pernafasannya (Sudarto, 2004).
Pada dasarnya Ikan lele (Clarias gariepinus) disebut sebagai binatang nokturnal artinya bersifat aktif pada malam hari atau suasana gelap. Oleh karena itu, di siang hari lele lebih suka bersebunyi atau berlindung di balik benda-benda atau bebatuan di dasar perairan (Lim, 1999).









B. Larva Nyamuk
Klasifikasi Larva Nyamuk (Anopheles sp.) menurut adalah Spielman (2001). sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Ordo : Diptera
Famili : Culicidae
Genus : Anopheles
Spesies : Anopheles sp.






Gambar 4. Larva Nyamuk (Anopheles sp.).
(Spielman, 2001).
Nyamuk betina menaruh telurnya, yang diberi makan berupa darah agar dapat tumbuh dan berkembang, pada dedaunan lembab atau kolam-kolam yang tidak berair di musim panas atau gugur. Sebelumnya, nyamuk betina ini menjelajahi wilayah yang ada dengan sangat teliti menggunakan reseptornya yang sangat peka yang terletak pada perutnya. Setelah menemukan tempat yang cocok, nyamuk mulai meletakkan telur-telurnya. Telur yang panjangnya kurang dari 1 mm ini diletakkan secara teratur hingga membentuk sebuah barisan teratur. Beberapa spesies nyamuk meletakkan telur-telurnya sedemikian hingga berbentuk seperti sebuah sampan. Beberapa koloni telur ini ada yang terdiri dari 300 buah telur. Telur-telur yang berwarna putih ini kemudian berubah warna menjadi semakin gelap, dan dalam beberapa jam menjadi hitam legam. Warna gelap ini berfungsi untuk melindungi telur-telur tersebut agar tidak terlihat oleh serangga maupun burung pemangsa. Sejumlah larva-larva yang lain juga berubah warna, menyesuaikan dengan warna tempat di mana mereka berada, hal ini berfungsi sebagai kamuflase agar tidak mudah terlihat oleh pemangsa. Larva-larva ini berubah warna melalui berbagai proses kimia yang terjadi pada tubuhnya (Gillett, 1972)
Nyamuk adalah serangga tergolong dalam order Diptera; genera termasuk Anopheles, Culex, Psorophora, Ochlerotatus, Aedes, Sabethes, Wyeomyia, Culiseta, dan Haemagoggus untuk jumlah keseluruhan sekitar 35 genera yang merangkum 2700 spesies. Nyamuk mempunyai dua sayap bersisik, tubuh yang langsing, dan enam kaki panjang; antar spesies berbeda-beda tetapi jarang sekali melebihi 15 mm. Dalam bahasa Inggris, nyamuk dikenal sebagai "Mosquito", berasal dari sebuah kata dalam bahasa Spanyol atau bahasa Portugis yang berarti lalat kecil. Penggunaan kata Mosquito bermula sejak tahun 1583. Di Britania Raya nyamuk dikenal sebagai gnats. Pada nyamuk betina, bagian mulutnya membentuk probosis panjang untuk menembus kulit mamalia (atau dalam sebagian kasus burung atau juga reptilia dan amfibi untuk menghisap darah. Nyamuk betina memerlukan protein untuk pembentukan telur dan oleh karena diet nyamuk terdiri dari madu dan jus buah, yang tidak mengandung protein, kebanyakan nyamuk betina perlu menghisap darah untuk mendapatkan protein yang diperlukan. Nyamuk jantan berbeda dengan nyamuk betina, dengan bagian mulut yang tidak sesuai untuk menghisap darah. Agak rumit nyamuk betina dari satu genus, Toxorhynchites, tidak pernah menghisap darah. Larva nyamuk besar ini merupakan pemangsa jentik-jentik nyamuk yang lain. Nyamuk melalui empat tahap yang jelas dalam siklus hidupnya: telur, larva, pupa, dan dewasa. Tempo tiga peringkat pertama bergantung kepada spesies dan suhu. Culex tarsalis bisa menyelesaikan siklus hidupnya dalam tempo 14 hari pada 20 °C dan hanya sepuluh hari pada suhu 25 °C. Sebagian spesies mempunyai siklus hidup sependek empat hari atau hingga satu bulan. Larva nyamuk dikenal sebagai jentik dan didapati di sembarang bekas berisi air. Jentik bernafas melalui saluran udara yang terdapat pada ujung ekor. Pupa biasanya seaktif larva, tetapi bernafas melalui tanduk thorakis yang terdapat pada gelung thorakis. Kebanyakan jentik memakan mikroorganisme, tetapi beberapa jentik adalah pemangsa bagi jentik spesies lain. Sebagian larva nyamuk seperti Wyeomyia hidup dalam keadaan luar biasa. Jentik-jentik spesies ini hidup dalam air tergenang dalam tumbuhan epifit atau di dalam air tergenang dalam pohon periuk kera. Jentik-jentik spesies genus Deinocerites hidup di dalam sarang ketam sepanjang pesisir pantai (Spielman, 2001).
C. Laju Metabolisme
Metabolisme adalah semua reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh makhluk hidup, terdiri atas anabolisme dan katabolisme. Anabolisme adalah proses sintesis senyawa kimia kecil menjadi molekul yang lebih besar, misalnya asam amino menjadi protein. Laju metabolisme dipengaruhi oleh faktor biotik seperti suhu, salinitas, oksigen, karbondioksida, amoniak, pH, fotoperiode, musim dan tekanan; dan abiotik seperti aktivitas, berat, kelamin, umur, scooling, stress, puasa dan ratio makan. Suhu air yang normal bagi organisme perairan adalah 20-25oC. Pada suhu perairan yang tinggi aktivitas metabolisme akan meningkat dimana pada kondisi demikian konsumsi oksigen organisme akan bertambah sedangkan kelarutan oksigen dalam air menurun dengan bertambahnya suhu sehingga menyebabkan kematian. Konsumsi oksigen berbeda tergantung dari aktivitas organisme serta faktor lingkungan temperatur dan konsentrasi oksigennya. Mortalitas benih terjadi bila suhu air mencapai 35oC (Fujaya, 2004).
Sel merupakan unit kehidupan yang terkecil, oleh karena itu sel dapat menjalankan aktivitas hidup, di antaranya metabolisme. Metabolisme adalah proses-proses kimia yang terjadi di dalam tubuh makhluk hidup/sel. Metabolisme disebut juga reaksi enzimatis, karena metabolisme terjadi selalu menggunakan katalisator enzim. Berdasarkan prosesnya metabolisme dibagi menjadi2, yaitu: 1) anabolisme/asimilasi, yaitu proses pembentukan molekul yangkompleks dengan menggunakan energi tinggi; 2) katabolisme (Dissimilasi), yaitu proses penguraian zat untuk membebaskan energi kimia yang tersimpan dalam senyawa organik tersebut. Saat molekul terurai menjadi molekul yang lebih kecil terjadi pelepasan energi sehingga terbentuk energi panas. Bila pada suatu reaksi dilepaskan energi, reaksinya disebut reaksi eksergonik. Reaksi semacam itu disebut juga reaksi eksoterm (Praweda, 2007).
Suhu perairan sangat berpengaruh terhadap laju metabolisme. Kisaran toleransi suhu antar spesies ikan satu dengan yang lainnya berbeda. Suhu tertinggi tidak selalu berakibat mematikan tetapi dapat menyebabkan gangguan stress kesehatan untuk jangka panjang, misalnya stress yang ditandai dengan tubuh lemah, kurus, dan tingkah laku abnormal. Pada suhu rendah, akibat yang ditimbulkan antara lain ikan menjadi lebih rentan terhadap infeksi fungi dan bakteri patogen akibat melemahnya sistem imun. Pada dasarnya suhu rendah memungkinkan air untuk mengandung oksigen lebih tinggi, tetapi suhu rendah menyebabkan stress pernapasan pada ikan berupa menurunnya laju pernapasan dan denyut jantung sehingga dapat berlanjut dengan pingsannya ikan-ikan akibat kekurangan oksigen. Meskipun ada ikan yang dapat mempertahankan suhu tubuh tetap hangat (endothermik), misalnya pada kelompok ikan tuna, namun sebagian besar ikan bersifat poikilothermik, yaitu suhu tubuh tergantung suhu lingkungan. Ikan tidak dapat mempertahankan temperatur tubuh yang berbeda dengan lingkungan, karena sistem pergerakan panas dalam otot-ototnya sebanding dengan yang melalui insang, sebagian besar panas dalam darah ditransfer ke otot melalui pembuluh arteri yang merupakan tempat perubahan panas. Agar suhu tubuhnya tetap stabil, ikan melakukan pergerakan misalnya diurnal, nokturnal, musiman, dan lain-lain. Apabila di suatu daerah suhu air menjadi hangat maka ikan-ikan akan bergerak ke bawah, kebagian yang lebih dingin atau bermigrasi ke tempat lain. Demikian pula sebaliknya untuk menghindari suhu yang terlalu dingin (Irianto, 2005).
Suhu media berpengaruh terhadap aktifitas enzim pencernaan. Pada proses pencernaan yang tak sempurna akan dihasilkan banyak feses, sehingga banyak energi yang terbuang. Tetapi jika aktifitas enzim pencernaan meningkat maka laju pencernaan juga akan semakin meningkat, sehingga tingkat pengosongan lambung tinggi. Tingkat pengosongan lambung yang tinggi menyebabkan ikan cepat lapar dan nafsu makannya meningkat. Jika konsumsi pakan tinggi, nutien yang masuk kedalam tubuh ikan juga tinggi, dengan demikian ikan memiliki energi yang cukup untuk pertumbuhan (Tang dan Affandi, 2001).
Suhu air merupakan salah satu sifat fisik yang dapat mempengaruhi nafsu makan dan pertumbuhan badan ikan. Suhu air yang optimal untuk benur dan nener di daerah tropis biasanya berkisar antara 25-30 oC. Sedangkan perbedaan suhu siang dan malam tidak boleh melebihi dari 5 oC. Hal ini dapat menguntungkan bagi lingkungan perairan, goncangan suhu tidak pernah drastis seperti pada lingkungan udara (Susanto, 1991).
Suhu media juga berpengaruh terhadap aktifitas enzim yang terlibat proses katabolisme dan anabolisme. Enzim metabolisme berpengaruh terhadap proses katabolisme (menghasilkan energi) dan anabolisme (sintesa nutrien menjadi senyawa baru yang dibutuhkan tubuh). Jika aktifitas enzim metabolisme meningkat maka laju proses metabolisme akan semakin cepat dan kadar metabolit dalam darah semakin tinggi. Tingginya kadar metabolit dalam darah menyebabkan ikan cepat lapar dan memiliki nafsu makan tinggi, sehingga tingkat konsumsi pakan meningkat. Konsumsi pakan yang tinggi akan meningkatkan jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh. Energi ini akan digunakan untuk proses-proses maintenance dan selanjutnya digunakan untuk pertumbuhan (Effendi, 2003).
Suhu media yang optimum akan mendorong enzim-enzim pencernaan dan metabolisme untuk bekerja secara efektif. Konsumsi pakan yang tinggi yang disertai dengan proses pencernaan dan metabolisme yang efektif, akan menghasilkan energi yang optimal untuk pertumbuhan. Proses metabolisme ikan umumnya meningkat jika suhu naik hingga dibawah batas yang mematikan. Berdasarkan hukum van’t Hoff, kenaikan suhu sebesar 10 °C akan menyebabkan kecepatan reaksi metabolisme meningkat 2-3 kali lipat dibandingkan pada kondisi normal. Kebutuhan protein pada ikan untuk mendapatkan pertumbuhan yang optimum sangat dipengaruhi oleh suhu. Contoh pada suhu 20 oC pada ikan Channel Catfish (Ictalurus punctatus) memperlihatkan pertumbuhan optimum dengan kadar protein 35 %, sedangkan pada suhu 25 oC membutuhkan protein 40%. (Musida, 2007).
Proses metabolisme akan meningkat dua kali lipat untuk setiap kenaikan suhu sebesar 10 oC, dan apabila laju metabolismenya meningkat maka kebutuhan akan oksigen juga akan meningkat pula. Dalam kisaran dimana proses-proses kehidupan berlangsung, metabolisme tergantung pada suhu. Kebanyakan organisme laut telah mengalami adaptasi untuk hidup dan berkembang baik dalam kisaran total antar 0 - 40 oC, karena sebagian besar organisme laut bersifat polikiometrik dan suhu air laut bervariasi, maka penyebarannya mengikuti perbedaan suhu lautan secara geografik (Nybakken, 1992).











III. METODE PRAKTIKUM
A. Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Rabu Tanggal 1 April 2009 pada pukul 10.00-12.00 WITA. Bertempat di Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo Kendari.
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada praktikum ini dapat dilihat pada Tabel berikut:
Tabel 6. Alat Beserta Kegunaannya Pada Praktikum Laju Metabolisme
No Nama Alat Fungsi
1 Toples besar 1 buah Untuk tempat menyimpan ikan dan air tawar
2 Thermometer biasa Untuk mengukur suhu air.
3 Kertas label Untuk menandai masing-masing perlakuan.
4 Baskom Untuk menyimpan air panas dan toples
5 Alat tulis menulis Untuk mencatat hasil pangamatan.
6 Stopwatch Untuk menghitung waktu.
7 Gelas Aqua Untuk menyimpan jentik nyamuk
8 Thermos air Untuk menyimpan air panas

Bahan yang digunakan pada praktikum aklimatisasi ini yaitu Ikan Lele Dumbo (Clarias glariepinus) digunakan sebagai hewan uji, air tawar sebagai media uji, air panas digunakan untuk mengukur laju metabolisme pada suhu tinggi/menaikkan suhu air, es batu digunakan untuk mengukur laju metabolisme pada suhu rendah/menurunkan suhu air.
C. Prosedur Kerja
Prosedur karja yang dilakukan dalam praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Menyiapkan 2 buah wadah (toples) yang diisi media yang suhunya sama dengan media asal hewan uji
2. Memasukkan hewan uji.
3. Melakukan penurunan atau penaikkan suhu media tersebut dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit es batu untuk penurunan suhu, dan dengan menambahkan air hangat untuk penaikkan suhu, dan mengamati tingkah laku hewan uji.
4. Menghentikan penambahan bila hewan uji sudah pingsan, dan mencatat suhu media.
Untuk Zooplankton
1. Mencari jentik nyamuk beserta media asalnya
2. Mengamati dan menghitung pergerakannya selama 3 X 2 menit
3. Menaikkan suhu media dengan cara menambahkan sedikit air hangat ke dalam media uji
4. Hitung pergerakannya/tingkah lakunya selama 3 X 2 menit





IV. HASIL DAN PEMBAHASAN



A. Hasil Pengamatan
Hasil pengamatan pada praktikum ini dapat dilihat pada Tabel berikut:
Tabel 7. Laju Metabolisme Pada Suhu Tinggi
Jenis Organisme Lama Perlakuan Suhu Tingkah Laku
Ikan Lele Dumbo
(Clarias gariepinus)
28 °C Diam
Banyak bergerak
Naik ke permukaan mengambil oksigen
5 Menit 33 °C Aktif bergerak
Naik kepermukaan
Tubuh pucat
Bukaan operculum cepat
5 Menit 41 °C Tubuh membengkok
Tubuh sangat pucat
5 Menit 45 °C Mati

Tabel 8. Laju Metabolisme Pada Suhu Rendah
Jenis Organisme Lama Perlakuan Suhu Tingkah Laku
Ikan Lele Dumbo
(Clarias gariepinus)
28 °C Diam
Banyak bergerak
Naik ke permukaan mengambil
oksigen
5 Menit 25 °C Bukaan operculum lambat
Diam
5 Menit 20 °C Operculum lambat
Kulit berubah memucat
Sungutnya melemah
Ikan kebanyakan diam
5 Menit 17 °C Meloncat-loncat kepermukaan
Sungut melemah
kulit pucat


Tabel 9. Pengamatan Laju metabolisme Pada Zooplankton
Jenis Organisme Lama Perlakuan Suhu Keterangan
Jentik nyamuk
6 menit 28 °C 100 kali pergerakan
6 menit 30 °C 107 kali pergerakan
6 menit 47 °C Organisme mati


B. Pembahasan

Metabolisme adalah semua reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh makhluk hidup, terdiri atas anabolisme dan katabolisme. Laju metabolisme dipengaruhi oleh faktor biotik seperti suhu, salinitas, oksigen, karbondioksida, amoniak, pH, fotoperiode, musim dan tekanan; dan abiotik seperti aktivitas, berat, kelamin, umur, scooling, stress, puasa dan ratio makan. Suhu air yang normal bagi organisme perairan adalah 20-25oC.
Pada pengamatan laju metabolisme terhadap Ikan Lele Dumbo (C. gariepinus) yang dinaikkan konsentrasi suhu media hidupnya dari 28 oC, menjadi 33 oC, tampak bahwa pada 5 menit pertama dari penaikkan suhu, Ikan Lele Dumbo (C. gariepinus) melakukan adaptasi terhadap lingkungan baru dengan banyak menghirup oksigen, yang ditandai dengan melihat operculum yang terbuka cepat. Hal tersebut merupakan hal yang wajar karena iakn membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang baru ditempatinya. Pada ikan, oksigen di udara dapat diserap secara langsung ke dalam aliran darahnya melalui ingsang. Namun pada suhu tinggi kelarutan oksigen di dalam air akan cenderung menurun, dan pada kondisi seperti itu Ikan Lele Dumbo (C. gariepinus) akan berusaha mengimbangi situasi tersebut dan cenderung mempertahankan hidupnya sehingga mengakibatkan peningkatan laju metabolismenya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Irianto (2005), yang menyatakan bahwa pada suhu perairan yang tinggi aktivitas metabolisme akan meningkat. dan kondisi tersebut berdampak pada konsumsi oksigen organisme akan bertambah sedangkan kelarutan oksigen dalam air menurun dengan bertambahnya suhu sehingga menyebabkan kematian organisme.
Dalam pengamatan laju metabolisme pada suhu tinggi ini kematian ikan mas terjadi pada 5 menit ketiga, dengan peningkatan suhu hingga 45 oC. Hal ini disebabkan karena fluktuasi suhu yang meningkat drastis dalam waktu yang singkat, hingga menciptakan situasi ekstrim bagi Ikan Lele Dumbo (C. gariepinus). Hal ini didukung dengan pernyataan Musida (2007), bahwa berdasarkan hukum Van’t Hoff, kenaikan suhu sebesar 10 °C akan menyebabkan kecepatan reaksi metabolisme meningkat 2-3 kali lipat dibandingkan pada kondisi normal, bahkan perubahan suhu yang terjadi secara mendadak dapat menyebabkan ikan mengalami stress bahkan kematian.
Pada pengamatan laju metabolisme pada Ikan Lele Dumbo (C. gariepinus), diturunkan konsentrasi suhu media hidupnya dari 25 oC, menjadi 20 oC , tampak bahwa pada 5 menit pertama dari penurunan suhu, Ikan Lele Dumbo (C. gariepinus) melakukan adaptasi terhadap lingkungan baru dengan banyak menghirup oksigen untuk pernapasannya, yang terlihat dari gerakan operculumnya yang melakukan proses respirasi dengan cepat.
Pada penurunan suhu hingga 20 oC di 5 menit kedua, Ikan Lele Dumbo (C. gariepinus) mulai aktif bergerak, karena suhu ini masih termasuk dalam kisaran toleransi normal bagi organisme perairan. Sesuai dengan penyataan Fujaya (2004), bahwa Suhu air yang normal bagi organisme perairan adalah 20-25oC. Kemudian pada penurunan suhu hingga 17 oC dan ikan mulai aktif bergerak di permukaan, Pergerakan ikan melambat, bukaan operculum melambat dan cenderung berada di dasar medium. Ini menandakan bahwa pada suhu rendah, Ikan Lele Dumbo (C. gariepinus)masih dapat melakukan proses metabolisme karena pada suhu rendah, kelarutan oksigen lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nybakken (1992), bahwa pada dasarnya suhu rendah memungkinkan air mengandung oksigen lebih tinggi, tetapi suhu rendah menyebabkan stres pernapasan pada ikan berupa menurunnya laju pernapasan dan denyut jantung. Sehingga dapat diamati bahwa laju metabolisme Ikan Lele Dumbo (C. gariepinus) berjalan lambat yang ditandai dengan melambatnya gerakan operculum dan prilaku tersebut dapat berlanjut ditandai dengan pingsannya ikan akibat kekurangan oksigen.
Pada pengamatan laju metabolisme dengan menggunakan zooplankton dapat dilihat pergerakan zooplakton yang masih berjalan normal ketika media hidupnya belum mengalami penaikkan suhu di mana pergerakannya sebanyak 100 X pada suhu kamar yakni 28 °C, namun ketikan media hidupnya tambahkan air panas hingga suhunya mencapai 30 °C pergerakan dari zooplankton tersebut bertambah menjadi 107 kali, hal tersebut merupakan respon dari organisme zooplankton yang berusaha mengimbangi penaikkan suhu yang terjadi pada media hidupnya sehingga mengakibatkan meningkatnya laju metabolisme di dalam tubuh organisme tersebut. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Irianto (2005), yang menyatakan bahwa pada suhu perairan yang tinggi aktivitas metabolisme akan meningkat, dan pada kondisi seperti itu konsumsi oksigen organisme akan bertambah sedangkan kelarutan oksigen dalam air menurun dengan bertambahnya suhu sehingga menyebabkan kematian organisme. Dan hal tersebut terbukti ketika suhu media hidup dari organisme zooplanton dinaikkan hingga 47 oC, dimana organisme zooplaknton mengalami kematian.



.

















V. PENUTUP


A. Kesimpulan
Dari hasil pengamatan dan pembahasan, simpulan yang dapat ditarik dari praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Perubahan suhu dapat mempengaruhi laju metabolisme Ikan Lele Dumbo (C. gariepinus)ikan mas.
2. Pada suhu perairan yang tinggi aktivitas metabolisme akan meningkat dan kondisi tersebut berdampak pada konsumsi oksigen organisme akan bertambah sedangkan kelarutan oksigen dalam air menurun dengan bertambahnya suhu sehingga menyebabkan kematian organisme.
3. Pada dasarnya suhu rendah memungkinkan air mengandung oksigen lebih tinggi, tetapi suhu rendah menyebabkan stres pernapasan pada ikan berupa menurunnya laju pernapasan dan denyut jantung.
B. Saran
Saran praktikan dalam praktikum ini adalah agar dalam pengamatan laju metabolisme dengan peningkatan dan penurunan suhu, sebaiknya prosedur kerja yang dilakukan kalau bisa harus sesuai dengan apa yang tertulis di dalam buku penuntun, kalaupun hal tersebut tidak dilakukan karena alasan keterbatasan alat praktek semestinya hal tersebut sudah dipikirkan sebelumnya.


DAFTAR PUSTAKA
Effendi Hefni, 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta.

Fujaya Y., 2004. Fisiologi Ikan. PT. Rineka Cipta. Jakarta.
Gillett, J. D., 1972. The Mosquito: Its Life, Activities and Impact on Human Affairs. Doubleday, Garden City, NY, 358 p. ISBN 0-385-01179-2
Irianto A., 2005. Patologi Ikan Teleostey. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Lim, Kelvin K. P., Ng, H. H., 1999. Clarias batu, a New Species of Catfish (Teleostei: Clariidae) from Pulau Tioman, Peninsular Malaysia (PDF). The Raffles Bulletin of Zoology (6): 157-167.

Musida, 2007. Taxonomi. Diakses pada Tanggal 30 Maret 2009. Dari http://musida.web.id/taxonomy/term/116/all.

Nybakken. 1992. Biologi Laut. Gramedia. Jakarta.

Praweda, 2007. Biologi. Diakses pada Tanggal 30 Maret 2009. Dari http://ftp.ui.edu/bebas/v12/sponsor/SponsorPendamping/Praweda/Biologi/Biologi%203.htm
Spielman, A., and M. D'Antonio., 2001. Mosquito: A Natural History of Our Most Persistent and Deadly Foe. Hyperion Press, New York, 256 p. ISBN 0-7868-6781-7
Sudarto, Teugels, Guy G.,Pouyaud, Laurent 2004. Description of a New Clariid Catfish, Clarias pseudonieuhofii from West Borneo (Siluriformes: Clariidae (PDF). Zoological Studies 43 (1): 8-19.

Tang. U.M. dan R. Affandi. 2001. Fisiologi Hewan Air. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

0 komentar: